Metafisika merupakan kajian filsafat
tertinggi guna untuk mencapai sesuatu yang hakiki. Dikatakan tertinggi, karena
ia mampu membawa manusia kepada sebuah prinsip pemahaman akan penyebab
munculnya seluruh eksistensi yang tampak oleh indera. Selain itu juga, kajian
Metafisika ini, dapat menghantarkan manusia untuk berperilaku arif dan
bijaksana secara prinsipil dan fundamental. Dimana manusia dengan melalui
kajian metafisika tersebut, akhirnya ia dapat memahami tentang penyebab
pertama (Causa Prima) dari segala yang ada (Fisika).
Lagi-lagi mengutip bukunya Prof. Dr.
H. Cecep Sumarna, bahwa menurut Jean Hendrik (1996), istilah Metafisika untuk
pertama kalinya dipopulerkan oleh Andronicos dan Rhodes, sekitar tahun 70 SM.
Bahkan menurut Hendrik, Metafisika sering diartikan sebagai Filsafat kedua
setelah Fisika. Disebut demikian, karena kajian metafisika lahir setelah
berbagai kajian fisika digelutinya. Sehingga dapat difahami bahwa, metafisika
ini mengkaji keadaan sesuatu, yang eksistensinya berada di luar jangkauan
fisik.
Akan tetapi seorang Anton Bakker
berpandangan bahwa kajian Metafisika sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum
Andronicos memunculkan gagasannya. Ia mengatakan bahwa Kajian Metafisika sudah
berkembang sejak abad ketiga sebelum masehi (masa Yunani kuno).
Metafisika dapat dijadikan sebagai
studi pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari suatu eksistensi
atau kenyataan yang tampak nyata dan variatif. Dimana dengan melakukan
pengkajian dan penghayatan terhadap Metafisika, manusia akan dituntun pada
jalan dan penumbuhan sebuah moralitas hidup.
Dalam sejarah Filsafat Yunani,
terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M),
seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Dia sangat mengagumi
pemikiran-pemikiran gurunya (Plato) meskipun dalam filsafat, Aristoteles selalu
mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang
berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica
veritas - Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku
- ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi "Saya mencintai
Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran").
Aristoteles mengkritik tajam
pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah
dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu
Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk),
menurut teori ini, setiap benda jasmani memiliki dua
hal yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti
memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu,
dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin
lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman,
sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan
prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimungkinkannya Ilmu pengetahuan
atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi
dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan
bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi,
maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga
akan hancur.
Disamping pendapat tersebut
Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang
teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia
adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam
suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme (masalah ini akan diuraikan
khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan
umum atas hal yang khusus.[1]
No comments:
Post a Comment