Thursday 12 March 2015

Sejarah Metafisika

Metafisika merupakan kajian filsafat tertinggi guna untuk mencapai sesuatu yang hakiki. Dikatakan tertinggi, karena ia mampu membawa manusia kepada sebuah prinsip pemahaman akan penyebab munculnya seluruh eksistensi yang tampak oleh indera. Selain itu juga, kajian Metafisika ini, dapat menghantarkan manusia untuk berperilaku arif dan bijaksana secara prinsipil dan fundamental. Dimana manusia dengan melalui kajian metafisika tersebut, akhirnya ia dapat memahami tentang penyebab pertama  (Causa Prima) dari segala yang ada (Fisika).
Lagi-lagi mengutip bukunya Prof. Dr. H. Cecep Sumarna, bahwa menurut Jean Hendrik (1996), istilah Metafisika untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Andronicos dan Rhodes, sekitar tahun 70 SM. Bahkan menurut Hendrik, Metafisika sering diartikan sebagai Filsafat kedua setelah Fisika. Disebut demikian, karena kajian metafisika lahir setelah berbagai kajian fisika digelutinya. Sehingga dapat difahami bahwa, metafisika ini mengkaji keadaan sesuatu, yang eksistensinya berada di luar jangkauan fisik.
Akan tetapi seorang Anton Bakker berpandangan bahwa kajian Metafisika sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum Andronicos memunculkan gagasannya. Ia mengatakan bahwa Kajian Metafisika sudah berkembang sejak abad ketiga sebelum masehi (masa Yunani kuno).
Metafisika dapat dijadikan sebagai studi pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam dari suatu eksistensi atau kenyataan yang tampak nyata dan variatif. Dimana dengan melakukan pengkajian dan penghayatan terhadap Metafisika, manusia akan dituntun pada jalan dan penumbuhan sebuah moralitas hidup.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran gurunya (Plato) meskipun dalam filsafat, Aristoteles selalu mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas - Plato  memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku - ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi "Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran").
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), menurut teori ini,  setiap benda jasmani memiliki dua hal  yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimungkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur  dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik  kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus.[1]




[1] Mohammad Hatta. Alam Pikiran Yunani (Jilid 1 dan 2). Jakarta, 1964. Tintamas


No comments:

Post a Comment