Thursday 30 April 2020

Pengertian Shalat dan Syarat Shalat

A. Pengertian dan Hukum Salat Lima Waktu 
Salat secara bahasa berarti doa, sedangkan secara istilah, salat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam. Salat wajib juga disebut juga dengan salat fardu atau salat maktubah yang berarti salat yang harus dikerjakan orang Islam yang telah memenuhi syarat. Salat wajib dibagi menjadi 2 macam, yaitu: salat fardu ain dan salat wajib fardu kifayah.     
Hukum melaksanakan salat lima waktu ini adalah wajib atau fardu ain, yaitu sesuatu yang diharuskan dan yang mengikat kepada setiap individu seorang muslim yang telah dewasa, berakal sehat, balig (mukalaf). Apabila salat wajib ini ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya mendapat dosa dari Allah swt. Dasarnya wajibnya salat fardu ini adalah firman Allah dan hadis Nabi saw. berikut.

Artinya : Dan dirikanlah salat dan bayarkanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku.” (QS al-Baqarah/2: 43).  

Artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS al-Nisa’/4: 103).
  
Hadis Nabi saw. 

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان (

Artinya : Dari ‘Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu terdiri atas lima rukun. Mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammat itu adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadan.” (HR. Ahmad, Bukhar,i dan Muslim).
 
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah saw. Bersabda :
  
Artinya : Barangsiapa meninggalkan salat yang wajib dengan sengaja, maka janji Allah terlepas darinya. (HR. Ahmad) 

Dalam hadis yang lain disebutkan;

عن جابر بن عبدالله يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

Artinya : Dari Jabir ibn Abdillah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “(Yang membedakan) antara seseorang dan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan salat.” (HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai). 

Salat dalam Islam menempati kedudukan sangat penting, karena salat adalah perbuatan yang pertama kali akan dihisab (dihitung) pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat.   

عن أبي هريرة ان النبي صلى الله عليه وسلم قال :  أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة ، فإن صلحت صلح له سائر عمله ، وإن فسدت فسد سائر عمله

Artinya : Amal yang pertama kali akan dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya baik, maka akan dinilai baik semua amalnya yang lain dan jika salatnya rusak maka akan dinilai jeleklah semua amalnya yang lain. (HR. Ahmad)  

Begitu pentingnya kedudukan salat dalam Islam, maka Rasulullah menyuruh umat Islam untuk mendidik dan melatih salat sejak kecil sebagaimana sabda Beliau:

Artinya : Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Suruhlah anak-anak kecilmu melakukan salat pada (usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempattempat tidur.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

B. Syarat Salat Fardu 

1. Syarat Salat Fardu 
Syarat salat merupakan suatu hal yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan salat. Syarat salat dibagi menjadi dua yakni syarat wajib dan syarat sah sholat.  
a. Syarat wajib salat 
Syarat wajib salat meliputi: 
1) Beragama Islam 
Setiap muslim diwajibkan untuk salat, selain muslim tidak diwajibkan mnjalankan salat. Sesuai dengan hadis Ibnu Abbas manakala Rasulullah saw. mengutus Mu’az bin Jabal r.a. ke negeri Yaman.
عن ابن عباس رضي الله عنهما : أن النبي صلى الله عليه و سلم بعث معاذا رضي الله عنه إلى اليمن فقال  ادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوه لذلك فأعلمهم أن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم 

Serulah/ajaklah mereka untuk mengucapkan syahadat La ilaha illallah (tidak ada Ilah selain Allah) dan menyaksikan bahwasanya saya adalah utusan Allah. Apabila mereka menta'atimu akan hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah swt. telah mewajibkan atas mereka salat 5 waktu satu hari satu malam." (HR Bukhari dan Muslim).  

2) Balig atau dewasa 
Ada yang mengatakan bahwa laki-laki dikatakan balig saat berumur 15 tahun dan perempuan disebut balig atau dewasa saat berusia 9 tahun. Namun, lebih tepatnya laki-laki bisa dipandang balig pada saat telah mengeluarkan sperma atau telah mimpi basah dan perempuan ketika telah haid atau menstruasi.  

3) Berakal
Yakni memiliki akal yang sehat atau tidak gila berdasarkan hadis Nabi saw.

Artinya : Pena diangkat dari 3 orang: orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia ihtilam (dewasa/balig), dan dari orang yang gila sampai dia berakal.” (HR. Abu Dawud). 

4) Telah mengetahui dakwah tentang salat 
5) Tidak dalam keadaan haid atau nifas 
Haid ialah darah kotor yang keluar dari rahim wanita. Keluarnya darah tersebut yakni sunnatullah yang ditetapkan Allah swt. kepada seorang wanita. Jadi, haid merupakan suatu yang normal bagi wanita yang sudah masuk balig atau dewasa. Kalau nifas merupakan darah yang keluar karena persalinan, baik saat proses persalinan maupun sebelum dan sesudah persalinan yang disertai dengan rasa sakit mendalam.
 
b. Syarat sah salat meliputi: 
1) Suci badan dari hadas 
Hadas ada dua macam, yaitu: hadas besar dan hadas kecil. Hadas besar antara lain junub, haid, nifas yang mewajibkan mandi. Sedangkan hadas kecil antara lain buang angin, buang air besar dan kecil. Firman Allah swt.: 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah. (QS al-Maidah/5: 6).  

Hadis Nabi saw.

عن أبي هريرة يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( لا تقبل صلاة من أحدث حتَّي يتوضأ(

Artinya : Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak diterima salat orang yang berhadas sampai ia berwudu.” (Muttafaq ‘alaih). 

2) Suci badan, pakaian dan tempat dari najis 
Kita wajib mensucikan diri dari najis berdasarkan firman Allah:
Artinya : Dan pakaianmu sucikanlah. (QS al-Muddatsir/74: 4).  

Hadis Nabi saw.

Artinya : Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Nabi saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia salat dengannya.” (HR. Abu Dawud) 

Namun, para ulama berbeda pendapat apakah suci dari najis termasuk syarat sah salat atau tidak? Mazhab al-Syafi’iyyah berpendapat bahwa ia adalah syarat sah salat dan ini juga pendapat Abu Hanifah dan Ahmad sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Nawawi. Mereka berdalil dengan ayat dan hadis yang telah kita sebutkan tadi serta berdasarkan hadis:

فإذا أقبلت حيضتك فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم ثم صلي 

Artinya : Apabila haid telah pergi, maka cucilah darah darimu dan salatlah. (HR Bukhari dan Muslim).

Barangsiapa telah salat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka salatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika salat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat-, maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan salatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan salatnya dan tidak wajib mengulang.
Berdasarkan hadis Abu Sa’id:   
Nabi saw. pernah salat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?” Mereka menjawab, “Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.” Beliau berkata, “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia salat dengannya. 

3) Menutup  aurat 
Aurat  laki-laki  adalah  antara  pusar  sampai  lutut,  sedangkan  aurat  perempuan adala seluruh anggota badan, kecuali kedua telapak tangan dan wajah berdasarkan firman Allah:

Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (QS al-A’raf/7: 31).  

Yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat ini adalah pakaian yang menutup aurat di setiap akan salat, yakni, tutupilah aurat kalian karena mereka dulu tawaf di Baitullah dengan telanjang.

Hadis Nabi saw.
Artinya : Dari Aisyah r.a. Rasulallah saw. bersabda, “Tidak sah salat seorang wanita yang sudah mendapat haid (balig), kecuali dengan memakai khimar.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi).  

Yang dimaksud dalam hadis ini adalah kewajiban menutup aurat berlaku bagi setiap wanita yang sudah balig sebagimana berlaku untuk laki-laki yang sudah balig. Batas aurat laki laki dalam salat yaitu wilayah antara pusar dan lutut.
عن ابن جرهد عن أبيه قال النبي صلى الله عليه وسلم غط فخذك فإنَّها من العورة …

Artinya : Dari Ibn Jarhad dari ayahnya r.a., Nabi saw. bersabda, “Tutup pahamu, sesungguhnya paha itu aurat.” (HR. al-Tirmidzi).
 
Batas aurat perempuan yang wajib ditutup ialah seluruh badannya, kecuali muka dan dua tangan.  Allah berfirman:

Artinya : Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS al-Nur/24: 31). 

Yang dimaksud batas-batas aurat dan perhiasan yang harus dibuka menurut Ibn Abbas, muka dan dua tapak tangan. Hadis Nabi saw.

عن عبد الله بن عمر ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تنتقب المرأة الحرام ولا تلبس القفازين 

Artinya : Dari Abdullah bin Umar bahasanya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah wanita yang berihram memakai niqab (cadar) dan janganlah memakai sarung tangan.” (HR. Ibnu Huzaimah).  

Hadis ini mengandung arti bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat bagi wanita, makanya tidak diharamkan membukanya. Kedua anggota ini (wajah dan telapak tangan) sangat dibutuhkan bagi wanita dalam proses mengambil dan memberi sesuatu dalam pekerjaan yang bersangkutan dengan hidupnya, terutama kalau tidak ada orang lain yang bisa membantu kehidupannya.  Batas aurat hamba sahaya (budak wanita) seperti batas aurat laki laki merdeka yaitu antara pusar dan lutut. 

Artinya : Dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulallah saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun apa yang ada di bawah pusar dan di atas lutut.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Darquthni, dll). 

4) Telah masuk waktu salat  Salat tidak wajib dilaksanakan terkecuali apabila sudah masuk waktunya, dan tidak sah hukumnya salat yang dilaksanakan sebelum masuk waktunya.  Berdasarkan firman Allah:

Artinya : Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orangorang yang beriman. (QS al-Nisa’/4: 103). 

Tidak sah salat yang dikerjakan sebelum masuk waktunya ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.  

5) Menghadap kiblat 
Jika berada dalam masjid Haram Mekah, maka harus menghadap langsung, dan jika jauh dari Baitullah, maka cukup menghadap ke arahnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:

Artinya : Maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (QS al-Baqarah/2: 150).  

Juga sabda Nabi saw. terhadap orang yang buruk dalam salatnya:

 إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة 

Artinya : Jika engkau hendak salat, maka berwudu’lah dengan sempurna kemudian menghadaplah ke Kiblat. (Muttafaq ‘alaihi). 

Salat boleh dilakukan dengan tidak menghadap ke kiblat ketika dalam keadaan sangat takut dan ketika salat sunat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan. Allah berfirman:

Artinya : Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (QS al-Baqarah/2: 239).

فإن كان خوف هو أشد من ذلك صلوا رجالا وقياما على أقدامهم أو ركبانا مستقبلي القبلة أو غيْر مستقبليها

Artinya : Ibnu Umar r.a. berkata tentang tafsir ayat ini, “Jika rasa takut melebihi itu, maka mereka boleh salat sambil jalan kaki atau berkendaraan dengan menghadap kiblat maupun tidak menghadap kiblat.” (HR. Bukhari). 

Sedang jika dalam perjalanan (berkendaraan) boleh tidak menghadap kiblat ketika salat sunah. 

عن جابر قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي على راحلته حيث توجهت فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة 

Artinya : Dari Jabir r.a. ia berkata, “Rasulullah saw salat di atas kendaraannya sesuai dengan kendaraannya mengarah. Jika ia ingin salat fardu, ia turun dari kendaraannya lalu menghadap kiblat” (HR. Bukhari).  

Dari hadis ini, kita bisa memahami bahwa jika ingin melakukan yang fardu, Rasulullah saw. turun dari kendaraannya lalu menghadap kiblat. Kesimpulannya menghadap kiblat adalah syarat sahnya salat, maka ia tidak gugur kecuali dalam keadaan sangat takut (bahaya) dan saat salat sunah dalam bepergian sebagaimana telah disebutkan. Barangsiapa berusaha mencari arah kiblat lalu ia salat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah kiblat ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.  

Dari ‘Amir bin Rabi’ah r.a., ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah saw.  dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami salat menurut arahnya masing-masing.

Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah saw. lalu turunlah ayat:

Artinya : Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (QS al-Baqarah/2: 115). 


Wednesday 29 April 2020

Tayamum

Definisi Tayamum
Tayamum secara bahasa adalah al-qashd, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS al-Baqarah/2: 267.
ولا تيمموا الْخبيث منه تنفقون
Janganlah kamu bermaksud terhadap perkara yang buruk untuk kamu infakkan.  

Sedangkan secara istilah adalah menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci atas jalan yang tertentu sebagaimana firman Allah swt. (QS alMaidah/5: 6)

Artinya : Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air besar, atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak mendapatkan air (untuk bersuci), maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci). Sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS al-Maidah/5: 6).  

1) Sebab dilakukan tayamum  
Adapun sebab-sebab disyariatkannya tayamum adalah: 
a) Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai bersuci, berdasarkan hadis Imran bin Husein ra katanya:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا معتزلا لم يصل مع القوم ، فقال ما يمنعك يَا فلان ان تصلى فى القوم؟ فقال يَا رسول الله اصابتنى جنابة ولا ماء. فقال عليك بالصعيد فانه يكفيك 

Bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak salat bersama kaumnya. Rasul kemudian bertanya, “Kenapa Anda tidak salat?” Ujarnya, “Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka Nabi bersabda, “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.” (HR. Bukhari dan Muslim).  

b) Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit dan ia khawatir dengan memakai air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang dapat dipercaya berdasarkan hadis Jabir r.a katanya:
Suatu ketika kami pergi untuk perjalanan. Kebetulan salah seorang di antara kami ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu bermimpi, lalu menanyakan kepada teman-temannya: “Menurut tuan-tuan, dapatkah saya ini keringanan untuk bertayamum?” ujar mereka: “Tak ada bagi Anda keringanan, karena anda bisa mendapatkan air.” Maka orang itupun mandilah dan kebetulan meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw. kami sampaikan peristiwa itu kepadanya. Maka ujarnya, “Mereka telah membunuh orang itu, tentu mereka dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Obat bodoh tidak lain hanyalah dengan bertanya! Cukuplah bila orang itu bertayamum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni serta dishahihkan oleh Ibnu Sikkin). 

c) Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi, berdasarkan hadis Amar bin ‘Ash bahwa tatkala ia dikirim dalam pertempuran berantai, ia berkata, “Pada waktu malam yang amat dingin saya bermimpi. Saya khawatir akan mati jika saya terus juga mandi, maka sayapun bertayamum lalu salat Subuh bersama para sahabat lainnya.” Kemudian tatkala kami telah pulang kepada Rasulullah saw. hal itupun mereka sampaikan kepadanya. Maka Rasulullah saw. bersabda:

يَا عمرو صليت بَصحابك وانت جنب؟ فقلت ذكرت قول الله عز وجل ) ولا تقتلوا انفسكم ان الله  كان بكم رحيما  (فتيممت ثم صليت. فضحك رسول الله ولم يقل شيئا )رواه احمد وابو داود والَاكم والدارقطنى وابن ماجه وابن حبان وعلقه البخارى(

“Hai Amar! Betulkah anda melakukan salat bersama para sahabat padahal ketika itu Anda dalam keadaan junub?” Jawabku, “Aku teringat akan firman Allah Azza wa Jalla, “Janganlah kamu sekali membunuh dirimu! Sungguh Allah maha penyayang terhadap kamu sekalian (al-Nisa/4: 29). Maka akupun bertayamum lalu salat.” Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apaapa." (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban, sementara Bukhari mengatakan hadis ini muallaq).  

d) Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali dan diperlukan di waktu sekarang atau masa depan yang dekat untuk minumnya atau minum orang lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau mencucui pakaian salatnya yang terkena najis. 

2) Rukun-Rukun Tayamum 
a) Niat 
b) Debu yang suci, menurut pendapat empat mazhab yang diuraikan oleh al-Jaziri. Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah debu yang memiliki ghibar (ngebul). Menurut ulama Hanabilah, sha’id adalah jenis debu yang suci. Menurut ulama Hanafiyah, segala macam yang termasuk dari jenis bumi, seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.  
c) Menyapu seluruh wajah 
d) Menyapu kedua tangan sampai siku. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku adalah sunah.  

3) Kaifiyat Tayamum 
Menurut Sayid Sabiq, hendaklah orang yang bertayamum berniat lebih dahulu, kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu menyapukannya ke muka Begitupun kedua belah tangannya sampai pergelangan tangan. Mengenai hal ini tak ada keterangan yang lebih sah dan lebih tegas dari hadis Umar r.a. katanya, “Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu salat, kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Cukup bila Anda lakukan seperti ini, dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dihembusnya dan kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim). 
Menurut Sayid Sabiq bahwa tayamum sama dengan wudu, tidak disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayamum dibolehkan melakukan beberapa salat baik fardu maupun sunah sebanyak yang dikehendaki. Hal ini didasarkan dari Abu Dzar r.a.:
“Bahwa Nabi saw. bersabda, “Tanah itu mensucikan orang Islam, walau ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan air, hendaklah dibasuhkannya ke kulitnya karena demikian lebih baik.” (HR. Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya shahih).   
Tayamum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudu. Begitupun ia batal disebabkan adanya air. Tetapi, bila seseorang melakukan salat dengan tayamum kemudia ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang salatnya walaupun waktu salat masih ada. Hal ini didasarkan pada hadis dari Abu Said al-Khudri r.a. berkata, “Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah waktu salat sedang mereka tidak membawa air, maka mereka bertayamum dengan tanah yang baik kemudiann mengerjakan salat. Kemudian tidak lama, mereka menemukan air. Maka yang seorang mengulangi wudu dan sembahyang, sedang yang seorang lagi tidak mengulangnya. Lalu mereka datang kepada Nabi saw. dan menceritakan peristiwa itu. Nabi saw. pun bersabda kepada orang yang tidak mengulang: “Anda telah berbuat sesuai dengan sunah, dan salat Anda telah terpenuhi”. Ia bersabda pula kepada orang yang mengulang wudu dan salatnya, “Anda mendapat ganjaran dua kali lipat.” (HR. Abu Daud dan Nasai).  
Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai salat tapi belum selesai, maka tayamum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan memakai air. Seandainya orang junub atau perempuan haid bertayamum kemudian salat, tidaklah wajib ia mengulangnya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat menemukan air.  

4) Mengusap di atas Pembalut (Perban atau Plaster) 
a) Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudu atau mandi akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia menutup luka itu dengan perban atau pembalut lain. Sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut dan tidak terkena air, hendaklah ia bertayamum. Boleh juga ia mendahulukan tayamumnya sebelum wudu atau mandi.  
b) Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak itu harus bersuci kembali secara sempurna. 
c) Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudu, maka dibolehkan mengusapkan di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena anggota wudu, tetapi salatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia dalam keadaan tidak berwudu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam keadaan berwudu, maka salatnya tidak harus diulang.

Tuesday 28 April 2020

Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu dan Penjelasan Masalah Mandi

1) Perkara Yang Membatalkan Wudu: 
a) Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul, seperti: air kencing, mazi, wadi dan mani dan kotoran lainnya.  
b) Tidur nyenyak hingga tidak sadar dan tidak tetap tempat duduknya.  
c) Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk, atau disebabkan minum obatobatan, baik kadar obat tersebut sedikit maupun banyak. Hilangnya kesadaran yang diakibatkan oleh minum obat-obatan lebih dahsyat berbanding sewaktu tidur. Inilah pendapat yang telah disepakati para ulama.   
d) Menyentuh kemaluan tanpa alas karena berdasarkan hadis Basrah binti Shafwan r.a 

عن يسرة بنت صفوان رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من مس  ذكره فلا يصله ، حتى يتوضأ

Nabi saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia mengerjakan salat sehingga ia wudu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi seraya menyatakan kesahihan hadis ini).

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah sesuatu yang sering dianggap membatalkan wudu. 

Di atas telah dibahas sesuatu yang membatalkan wudu, namun ada beberapa hal yang sering kali disangka membatalkan wudu padahal tidak membatalkan wudu antara lain:

a) Keluar darah tidak melalui dua jalan dubur dan kubul, seperti karena luka, mimisan, dan berbekam. Demikian pula muntah, baik sedikit ataupun banyak, tidak membatalkan wudu. Hal ini bukan berarti darah dan muntah boleh dibawa salat. Darah dan muntah termasuk benda najis yang tidak boleh dibawa ketika salat sehingga orang yang berwudu kemudian berdarah atau muntah, tetap harus membersihkan pakaian atau anggota tubuhnya yang terkena darah dan ia tidak perlu mengulangi wudunya.
Oleh karena darah dan muntah harus dibersihkan ketika hendak salat, maka golongan Hanafiyah menganggap keluarnya darah melalui apapun juga, demikian pula muntah, dapat membatalkan wudu.  
b) Memandikan mayat tidak membatalkan wudu. Bagi orang yang memandikan mayit hanya dianjurkan untuk berwudu. Hal ini bukan berarti, membatalkan wudunya karena sesuatu yang membatalkan wudu telah jelas ketentuannya.  
c) Menyentuh isteri tanpa pembatas atau penghalang karena berdasarkan hadis Aisyah r.a 

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلها وهو صائم وقال إن القبلة لا تنقض الوضوء ولا تفطر الصائم

Rasulullah saw. pernah menciumnya, sedangkan pada saat itu beliau berpuasa. Nabi saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ciuman ini tidaklah membatalkan wudu dan tidak pula membatalkan puasa.” (HR. Ishak bin Ruwaih)  

2) Perkara yang wajib dilakukan dengan berwudu

Seseorang diwajibkan berwudu untuk mengerjakan tiga perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Salat apapun juga bentuknya, baik salat fardu maupun salat sunat, termasuk juga bila ingin mengerjakan salat jenazah.
Dengan demikian, tidak sah salat tanpa wudu. Karena itu, ulama menjadikan wudu sebagai syarat sah salat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: "Salat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia berwudu" seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya" hai Abu Hurairah !apa hadas itu? Abu Hurairah menjawab "kentut bersuara atau tidak"(HR. al-Bukhari) 

b) Tawaf di Baitullah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:

عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : الطواف صلاة إلا أن الله أحله فيه الكلام، فمن تكلم  فلا يتكلم إلاه بخيْر)  رواه الترمذى(

Nabi saw. bersabda, Thawaf itu merupakan salat, hanya saja Allah menghalalkan berbicara sewaktu mengerjakannya. Oleh karenanya, barang siapa yang ingin berbicara ketika mengerjakan thawaf, maka hendaklah ia membicarakan hal-hal yang baik-baik.”  

Berdasarkan hadis di atas, thawaf disyaratkan untuk berwudu, karena thawaf pada prinsipnya adalah ibadah seperti halnya salat. Bahkan, thawaf diserupakan seperti salat tahiyatul masjid.  
c) Menyentuh mushaf al-Quran. Ini menurut pendapat jumhur ulama berdasarkan pada firman Allah dalam QS al-Waqiah/56: 79. 

 لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS al-Waqi'ah/56: 79)

Dan juga berdasarkan hadis riwayat Abu Bakar bin Muhammad bin Ammar bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya r.a:

عن ابن حزم عن أبيه عن جده رضي الله عنهم هه  أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب اليَ اهل اليمن كتابَ  و كان فيه : لا يمس القران إلا طاهر

Nabi saw. menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman yang di antara isinya adalah: al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang sudah suci. (HR. Nasai, Daruquthni, Baihaqi, dan Al-Atsram).   


Mandi 

Mandi yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi yang bertujuan menghilangkan hadas besar seperti, keluar mani/sperma, setelah jimak dan keluar darah haid/nifas. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt.:
وان كنتم جنبا فاطهروا

Dan jika kamu junub, maka mandilah. (QS al-Maidah/5: 6).

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid, jawablah bahwa itu adalah kotoran, karena itu jauhi istrimu di waktu haid, dan jangan dekati mereka hingga suci. Maka bila mereka telah suci, boleh kamu mencampuri mereka, sebagaimana diperintah oleh Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suci”. (QS al-Baqarah/2: 222).  

1)  Perkara yang Mewajibkan Mandi 

Mandi menjadi wajib disebabkan adanya lima perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Keluar mani disertai syahwat, baik pada waktu tidur maupun ketika bangun, laki-laki maupun wanita.
Di sini ada beberapa persoalan yang sering terjadi sebagai berikut: 
(1) Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak mewajibkan mandi. 
(2) Jika seorang bermimpi, tetapi tidak menemukan bekas air mani maka ia tidak wajib mandi.   
(3) Bila seorang bangun tidur, lalu menemukan basah tetapi tidak ingat bahwa ia bermimpi, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa itu adalah mani. Karena pada zhahirnya, air mani itu keluar disebabkan mimpi.  
(4) Jika seorang merasakan hendak keluarnya mani pada saat memuncaknya syahwat, tetapi ia menahan kemaluannya hingga ia tidak keluar, maka orang tersebut tidak wajib mandi.  
(5) Jika melihat mani pada kainnya, tetapi tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah salat, maka ia wajib mengulangi salat dari waktu tidurnya yang terakhir, kecuali bila ada keyakinan bahwa keluarnya sebelum itu sehingga ia harus mengulangi dari waktu tidur yang terdekat di mana mani itu mungkin keluar.  

b) Hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita, walau tidak sampai keluar mani, karena berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu junub, maka mandilah....” (QS al-Maidah/5: 6).
Menurut Syafi’i, bahwa hakikat junub adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, walaupun tanpa disertai orgasme. 
c) Haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah swt.:  

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintah Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah/2: 222).  

d) Melahirkan baik anak yang dilahirkan itu cukup umur maupun tidak, seperti keguguran. 
e) Mati, jika seorang menemui ajal kematiannya, maka ia wajib dimandikan berdasarkan ijma’ ulama. 
f) Orang kafir jika sudah masuk Islam. Ia juga wajib mandi sebagai awal dari penyucian dirinya.

2) Fardu (Rukun) Mandi 

Menurut al-Jaziri, bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan fardu/rukun mandi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa fardu mandi ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua, memasukkan air ke hidung dan ketiga, membasuh seluruh badan dengan air. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardu mandi ada lima, yaitu: niat, meratakan badan (zhahir) dengan air, muwalat, menggosok-gosok seluruh badan dengan air, dan menyela-nyela anggota badan seperti rambut.   Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa fardu mandi ada dua, yaitu: niat meratakan seluruh anggota badan dengan air. Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa fardu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
 
3) Sunah-sunah Mandi 

Seseorang yang mandi harus memperhatikan perkara-perkara yang pernah dilakukan Rasulullah saw., pada saat mandi, yaitu sebagai berikut: 
a) Mulai dengan mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.  
b) Kemudian membasuh kemaluan. 
c) Lalu berwudu secara sempurna seperti halnya wudu pada saat ingin mengerjakan salat. Ia juga boleh menangguhkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi, bila ia mandi di tempat tembaga dan sebagainya.  
d) Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyelanyela rambut agar air dapat membasahi urat-uratnya.  
e) Lalu mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan, lalu sebelah kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jarijari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.

4) Pendapat ulama Mazhab terhadap hal yang diharamkan bagi yang berjunub 

Menurut mayoritas ulama seorang yang berhadas besar (junub) diharamkan melakukan salat dan tawaf di sekitar Ka’bah, memegang, dan membawa mushaf alQuran, kecuali dalam keadaan darurat untuk menyelamatkannya atau mengembalikannya ke tempatnya semula setelah terjatuh dan sebagainya. Namun, al-Jaziri mengungkapkan perbedaan para ulama mazhab berkaitan dengan membaca al-Quran dan berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadas besar.  
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub tidak boleh membaca al-Quran kecuali dua syarat. Pertama, membaca suatu yang mudah dan kedua, membaca dalam dua situasi: dengan tujuan menjaga dari musuh dan untuk menunjukkan hukum syarak. Juga tidak dibolehkan masuk masjid, kecuali dua keadaan, yaitu: tidak air untuk mandi, kecuali di masjid tetapi diharuskan bertayamum sebelum masuk masjid dan tidak ada tempat penampungan dari bahaya kecuali di masjid. 
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sedikit atau banyak, kecuali dalam dua keadaan. Pertama, untuk mengawali setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua, membaca ayat-ayat pendek untuk berdoa. Juga diharamkan bagi yang berjunub masuk masjid, kecuali dharurat. Misalnya tidak ada air untuk mandi kecuali di masjid, tetapi diharuskan bertayammum terlebih dahulu. 
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sekalipun satu huruf jika bermakud untuk membaca. Tetapi, jika bermaksud untuk berzikir tidak diharamkan. Juga tidak dibolehkan diam di masjid, kecuali hanya sekedar lewat itupun jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.  
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berjunub dibolehkan membaca al-Qur’an pada ayat-ayat pendek, tidak boleh lebih dari itu. Boleh juga diam di masjid jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.   Pada intinya pendapat para ulama mazhab di atas adalah untuk menjaga kesucian kitab suci dan tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak dibolehkan membaca al-Qur’an dan diam di masjid. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasulullah saw.:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ ثم قرأ شيئا من القرأن ثم قال: هكذا لمن ليس بجنب، فاما الجنب فلا ولا أية)  رواه أحمد وابو يعلى وهذا لفظه قال البيهقى رجاله موثقون(

Saya melihat Rasulullah saw. berwudu kemudian membaca sesuatu dari alQur’an lalu ia bersabda, “Ini adalah bagi orang yang tidak berjunub. Adapun orang yang berjunub, maka tidak boleh, bahkan satu ayat pun.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan beginilah susunan kata-katanya. Menurut Hatami: perawiperawinya dapat dipercaya).  

Dalam sabda yang lain:  

دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم صرحة هذا المسجد فنادى بَاعلى صوته: ان المسجد لا يحل لَحائض ولا لجنب 

Rasulullah saw. masuk ke halaman masjid dan berseru sekeras suaranya, “Sesungguhnya masjid tidak dibolehkan bagi orang haid maupun junub.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani). 

Jika tujuan diharamkan masuk masjid untuk menjaga kebersihan masjid, maka jika dirasa aman tidak akan mengotori masjid dibolehkan berdiam di masjid, karena jaman sekarang sudah banyak alat-alat pengaman seperti softek dan lainnya.
Penulis tidak sependapat dengan pandangan ini, karena orang junub bukan hanya wanita yang haid atau nifas, melainkan lelaki yang keluar mani juga disebut junub yang juga tidak dibolehkan untuk masuk masjid berdasarkan hadis di atas. Jelasnya adalah bagi orang yang junub, baik karena haid maupun keluar mani sama-sama tidak dibolehkan masuk masjid, sekalipun mereka merasa yakin tidak akan mengotori masjid.  

5) Permasalahan mandi wajib 

Ada beberapa hal yang sering dipertanyakan sekitar mandi wajib, antara lain sebagai berikut: 
a) Seorang yang telah melaksanakan mandi wajib tidak perlu lagi berwudu sesudahnya, karena niat menghilangkan hadas besar dianggap sudah meliputi hadas kecil dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudu setelah mandi seperti menyentuh kemaluan. 
b) Cukup mandi satu kali saja, meliputi mandi janabat, mandi hari Jumat, dan mandi hari raya apabila ia meniatkan itu semua ketika memulai mandinya. Berbeda kondisinya, jika mandi junub dilakukan di pagi hari kemudian di siang hari dalam keadaan bau yang akan mengganggu orang di sekitarnya, hendaknya mandi lagi yang ke dua kalinya untuk menunaikan salat Jumat.  
c) Tidak ada larangan atas seorang junub atau wanita yang sedang haid, memotong kuku, menghilangkan bulu atau rambut, keluar rumah dan sebagainya.