Monday 16 March 2015

Makna Iman

A. Definisi Iman
Arti iman dalam tinjauan bahasa adalah percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu pada tempat yang aman (baca: pada tempatnya).[1]
Keimanan adalah karunia Allah SWT yang paling besar bagi hamba-hamba-Nya. Tanpa pertolongan-Nya, seseorang tidak akan bisa untuk meraihnya. Seperti firman Allah dalam al-Qur'an Surat Hujurat ayat 17 : "Bahkan Allahlah sebenarnya yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjukan kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar".
Seseorang tidak dapat mengetahui hakikat keimanan orang lain, apalagi memaksakannya.[2] Sedangkan menurut syara', iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW, yakni beriman kepada Allah, kepada para Malaikat, para Nabi, para Rasul, hari Kiamat, Qadha dan Qadar. Demikian makna iman menurut hadits Nabi SAW.[3]
Dalam menjelaskan iman, maka para ulama memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Awza'i dan Imam Ishaq al-rahayh[4], makna iman mencakup keyaqinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW adalah kebenaran (Haq)[5] yang kemudian hal itu ditunjukan dalam amal perbuatan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip al-Thahawi, mengatakan bahwa amal perbuatan tidak termasuk dalam iman. Menurut beliau, iman hanya sebatas amal perbuatan dan pembenaran hati. Sementara Imam al-Maturidi[6] berpendapat bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran hati, sementara pengakuan lisan merupakan pilar (rukun) tambahan dalam keimanan, bukan merupakan unsur utama keimanan.[7]
Namun dengan berbedanya beberapa pandangan tentang hakikat iman, mereka semua sepakat bahwa orang yang tidak meyaqini kebenaran islam adalah orang kafir, sementara orang yang tidak menjalankan perintah agama adalah orang fasik. Sekalipun pandangan mayoritas ahli hadits adalah bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman, dengan meninggalkannya tidak berarti seseorang menjadi kafir, namun ia hanya kehilangan kesempurnaan iman. Dengan demikian substansi beberapa pendapat diatas sebenarnya adalah sama.[8]
Dalam karyanya al-Tawhid, al-Maturidi menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari oleh dua argumen; Petama, berdasarkan penjelasan syara' :  (a). Sebuah ayat yang menerangkan orang munafik. Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang munafik ialah : "Orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka : "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman."[9] (b). Firman Allah ketika suku Badui (A'raby) mengaku telah beriman : "Katakanlah (kepada mereka) : "Kamu belum beriman", tetapi katakanlah : "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu". [10]
 Dari kedua ayat al-Qur'an tersebut diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal.[11]
Kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani.
Namun demikian, beriman dalam arti meyakini kebenaran syariat yang dibawa Nabi SAW adalah sesuatu yang bersifat qalbiyah an sich dan esoteris (batin) yang tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Dan untuk mengetahuinya tentu diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau. Yang tentunya hal itu adalah dengan mengucapkan dua kalimah syahadah yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan ajaran islam. Maka dengan demikian, kesempurnaan iman seseorang dapat diukur melalui keteguhan hati, ucapan dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi SAW. Perbedaan-perbedaan itu timbul karena dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas dalil-dalil yang menjadi landasan utama pendapat mereka.
Yang mana akhirnya, perbedaan dalam memandang tiga komponen tersebut(pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan pengamalan) berakibat pula pada perbedaan keselamatan seseorang diakhirat kelak. Maka dalam hal ini Imam Al-Ghozali menjelaskan secara baik dengan penjelasan yang bertingkat :[12]
1. Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan, semua ulama sepakat bahwa diakhirat kelak ia akan memperoleh surga.
2. Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagian perintah agama dan hanya menjauhi sebagian larangannya. Maka menurut Muktazilah, jika dia melakukan dosa besar berarti ia telah keluar dari keimanannya, ia berada diantara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir. Dan diakhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi (manzilah bayna manzilatayn). Tapi menurut Ahlussunnah wal-Jamaah, keputusannya dikembalikan (diserahkan sepenuhnya) kepada Allah SWT. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukannya.
3. Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Dengan demikian, tidak ada iman tanpa amal, sebab amal adalah komponen iman. Pendapat Abu Thalib ini dilandasi oleh ayat al-Qur'an surat al-Buruj ayat 11, yang artinya "Orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan", akan tetapi hal itu mendapat komentar dari Imam Ghozali, bahwa ayat tersebut justru menunjukan pembedaan iman dan amal saleh. Dimana dalam ayat ini antara iman dan amal diposisikan dalam kerangka makna yang berbeda. Bahkan pendapat lain mengatakan bahwa amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan hanya penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tapi tidak beramal, maka keputusannya dikembalikan kepada kebijakan Allah SWT. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal akan dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada dineraka selama-lamanya.
4. Orang yang membenarkan dalam hati, namun belum sempat mengakui dengan ucapan, dan ia terlebih dahulu meninggal dunia. Maka menurut Ahlussunah Wal-Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman disisi Allah. Dan dalam hadits qudsi dikatakan : "Bahwa akan keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman, meski seberat semut". Sementara pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia tidak termasuk orang yang beriman dan akan kekal selamanya dineraka. Hal itu karena mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang.
5. Orang yang membenarkan dengan hati (baca : beriman) tetapi ia menunda pengucapan syahadat, padahal ia tahu bahwa syahadat ialah syarat seseorang disebut muslim. Maka Ahlussunah berpendapat bahwa orang yang seperti ini disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat. Ia diakhirat akan mendapat siksa walaupun tidak selamanya. Sedangkan pendapatnya golongan Murjiah[13] berpandangan bahwa orang seperti ini tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga.
6. Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Maka Ulama sepakat, bahwa orang yang melakukan tindakan tersebut diancam dengan neraka, karena sebenarnya ia tergolong orang kafir. Jadi, walaupun selama hidupnya ia diakui sebagai seorang muslim-karena telah mengucapkan kalimah syahadat-, namun diakhirat kelak,ia akan kekal di jurang neraka. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini dikenal sebagai orang munafik. Yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadah hanya untuk memperoleh keamanan duniawi semata.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditemukan benang merah tentang pengertian iman sebenarnya (hakiki) adalah Membenarkan dengan hati secara Mutlak atas apa saja yang datangnya dari Nabi SAW. Dan mewujudkan status keimanannya tersebut dengan bentuk sarana pengucapan dua kalimah syahadah sebagai syarat mutlak agar seseorang dikatakan muslim, serta disempurnakan untuk direalisasikannya dengan bentuk pengamalan melalui pilar-pilar islam (arkanul islam), yakni mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa dibulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.[14]





[1] Muhammad ibnu Manzhur al-ifriqi al-Mishri, Lisan al-'Arab, Daar Shadr, Beirut, cet I,tt, vol. XXXI, hal 21
[2] Abu Manshur al-Mathuridi ed. Fathullah Khulayf, At-Tawhid, Daar al-Jami'ah al-Mishriyyah, Alexanderia, vol. I, hal 377
[3] Kejelasan tentang hal ini dapat dibaca dalam: Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Shahih Muslim, Daar Ihya al-Turats al-'Arabi, Beirut, vol. I, hal 37
[4] Para tokoh yang disebut diatas adalah para ulama dibidang hadits dan ilmu hadits
[5] Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, ed. Muhammad Fu'ad Abd Al-Baqi, Syarh Aqidah al-Thahawiyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Vol. I, hal 373-374.
[6] Nama lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibnu Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi al-Samarqandi (w. Samarkand, 333H/944 M). Ia seorang Mutakallim (ahli ilmu kalam/teolog muslim) yang telah banyak menghasilkan pemikiran mengenai masalah kalam. Pemikirannya banyak banyak dianut oleh kaum muslimin yang dikenal dengan aliran Maturidiyah:aliran ini termasuk dalam kelompok Ahlussunah wal-Jamaah. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi. Lihat: Ensiklopedi Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta, vol. III, t 1999, huruf "M", hal 206.
[7] Syarah Aqidah al-Thahawiyah, Loc. cit.
[8]Semua pendapat yang diuraikan diatas masih berkisar pendapat-pendapat para teolog Ahlussunnah.
[9] Q.S. Al-Maidah ayat 41.
[10] Q.S. Al-Hujurat ayat 14.
[11] Abu Mansur al-Maturidi, ed. Fathullah Khulayf, Op. cit, hal 373 dst.
[12] Abu Hamid Muhammad al-Ghozali, Qowaid al-Aqaid, Beirut, hal 231-250
[13] Mereka adalah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka (maksiat) tidak memberi pengaruh apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak akan berguna apabila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjani, at-Ta'rifat, Daar al-Kitab al-Ilmiyyah, Beirut, hal 208.
[14] Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, Loc. cit


No comments:

Post a Comment