A. Definisi Iman
Arti iman dalam tinjauan bahasa adalah
percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu pada tempat yang aman
(baca: pada tempatnya).[1]
Keimanan adalah karunia Allah SWT yang
paling besar bagi hamba-hamba-Nya. Tanpa pertolongan-Nya, seseorang tidak akan
bisa untuk meraihnya. Seperti firman Allah dalam al-Qur'an Surat Hujurat ayat
17 : "Bahkan Allahlah sebenarnya yang melimpahkan nikmat kepada kalian
dengan menunjukan kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang
benar".
Seseorang tidak dapat mengetahui
hakikat keimanan orang lain, apalagi memaksakannya.[2] Sedangkan
menurut syara', iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran
Nabi Muhammad SAW, yakni beriman kepada Allah, kepada para Malaikat, para Nabi,
para Rasul, hari Kiamat, Qadha dan Qadar. Demikian makna iman menurut hadits
Nabi SAW.[3]
Dalam menjelaskan iman, maka para ulama
memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad,
Imam Awza'i dan Imam Ishaq al-rahayh[4],
makna iman mencakup keyaqinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan bahwa
ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW adalah kebenaran (Haq)[5] yang
kemudian hal itu ditunjukan dalam amal perbuatan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah,
sebagaimana dikutip al-Thahawi, mengatakan bahwa amal perbuatan tidak termasuk
dalam iman. Menurut beliau, iman hanya sebatas amal perbuatan dan pembenaran
hati. Sementara Imam al-Maturidi[6] berpendapat
bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran hati, sementara pengakuan lisan
merupakan pilar (rukun) tambahan dalam keimanan, bukan merupakan unsur utama
keimanan.[7]
Namun dengan berbedanya beberapa
pandangan tentang hakikat iman, mereka semua sepakat bahwa orang yang tidak
meyaqini kebenaran islam adalah orang kafir, sementara orang yang tidak
menjalankan perintah agama adalah orang fasik. Sekalipun pandangan mayoritas
ahli hadits adalah bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman, dengan
meninggalkannya tidak berarti seseorang menjadi kafir, namun ia hanya
kehilangan kesempurnaan iman. Dengan demikian substansi beberapa pendapat
diatas sebenarnya adalah sama.[8]
Dalam karyanya al-Tawhid,
al-Maturidi menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa
ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari oleh
dua argumen; Petama, berdasarkan penjelasan syara'
: (a). Sebuah ayat yang menerangkan orang munafik. Dalam ayat ini
diterangkan bahwa orang munafik ialah : "Orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka : "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum
beriman."[9] (b).
Firman Allah ketika suku Badui (A'raby) mengaku telah beriman :
"Katakanlah (kepada mereka) : "Kamu belum beriman", tetapi
katakanlah : "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu". [10]
Dari kedua ayat al-Qur'an
tersebut diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati.
Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya
akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal.[11]
Kedua, berdasarkan
pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan
antara nalar dan nurani.
Namun demikian, beriman dalam arti
meyakini kebenaran syariat yang dibawa Nabi SAW adalah sesuatu yang
bersifat qalbiyah an sich dan esoteris (batin)
yang tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Dan untuk mengetahuinya tentu diperlukan
sarana yang membuatnya dapat dijangkau. Yang tentunya hal itu adalah dengan
mengucapkan dua kalimah syahadah yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan
ajaran islam. Maka dengan demikian, kesempurnaan iman seseorang dapat diukur
melalui keteguhan hati, ucapan dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran
yang disampaikan Nabi SAW. Perbedaan-perbedaan itu timbul karena
dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas dalil-dalil yang menjadi
landasan utama pendapat mereka.
Yang mana akhirnya, perbedaan dalam
memandang tiga komponen tersebut(pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan
dan pembuktian dengan pengamalan) berakibat pula pada perbedaan keselamatan
seseorang diakhirat kelak. Maka dalam hal ini Imam Al-Ghozali menjelaskan
secara baik dengan penjelasan yang bertingkat :[12]
1. Orang yang melakukan seluruh pilar
keimanan, semua ulama sepakat bahwa diakhirat kelak ia akan memperoleh surga.
2. Seseorang yang membenarkan dengan
hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagian perintah
agama dan hanya menjauhi sebagian larangannya. Maka menurut Muktazilah, jika
dia melakukan dosa besar berarti ia telah keluar dari keimanannya, ia berada
diantara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir.
Dan diakhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi (manzilah
bayna manzilatayn). Tapi menurut Ahlussunnah wal-Jamaah, keputusannya
dikembalikan (diserahkan sepenuhnya) kepada Allah SWT. Manusia tidak mempunyai
hak untuk menentukannya.
3. Golongan yang membenarkan dalam hati
dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah
agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki
mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Dengan demikian, tidak
ada iman tanpa amal, sebab amal adalah komponen iman. Pendapat Abu Thalib ini
dilandasi oleh ayat al-Qur'an surat al-Buruj ayat 11, yang artinya "Orang-orang
yang beriman dan beramal kebaikan", akan tetapi hal itu mendapat
komentar dari Imam Ghozali, bahwa ayat tersebut justru menunjukan pembedaan
iman dan amal saleh. Dimana dalam ayat ini antara iman dan amal diposisikan
dalam kerangka makna yang berbeda. Bahkan pendapat lain mengatakan bahwa amal
perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan hanya penyempurna saja.
Artinya, seseorang yang beriman tapi tidak beramal, maka keputusannya
dikembalikan kepada kebijakan Allah SWT. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal
dikategorikan bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal
akan dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada dineraka selama-lamanya.
4. Orang yang membenarkan dalam hati,
namun belum sempat mengakui dengan ucapan, dan ia terlebih dahulu meninggal
dunia. Maka menurut Ahlussunah Wal-Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman
disisi Allah. Dan dalam hadits qudsi dikatakan : "Bahwa akan
keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman, meski
seberat semut". Sementara pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia
tidak termasuk orang yang beriman dan akan kekal selamanya dineraka. Hal itu
karena mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat
mutlak bagi keimanan seseorang.
5. Orang yang membenarkan dengan hati
(baca : beriman) tetapi ia menunda pengucapan syahadat, padahal ia tahu bahwa
syahadat ialah syarat seseorang disebut muslim. Maka Ahlussunah berpendapat
bahwa orang yang seperti ini disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat.
Ia diakhirat akan mendapat siksa walaupun tidak selamanya. Sedangkan
pendapatnya golongan Murjiah[13] berpandangan
bahwa orang seperti ini tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga.
6. Seseorang yang mengucapkan syahadat,
namun sebenarnya hatinya mengingkari. Maka Ulama sepakat, bahwa orang yang
melakukan tindakan tersebut diancam dengan neraka, karena sebenarnya ia
tergolong orang kafir. Jadi, walaupun selama hidupnya ia diakui sebagai seorang
muslim-karena telah mengucapkan kalimah syahadat-, namun diakhirat kelak,ia
akan kekal di jurang neraka. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini
dikenal sebagai orang munafik. Yakni seseorang yang menggunakan ungkapan
syahadah hanya untuk memperoleh keamanan duniawi semata.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat
ditemukan benang merah tentang pengertian iman sebenarnya (hakiki) adalah
Membenarkan dengan hati secara Mutlak atas apa saja yang datangnya dari Nabi
SAW. Dan mewujudkan status keimanannya tersebut dengan bentuk sarana pengucapan
dua kalimah syahadah sebagai syarat mutlak agar seseorang dikatakan muslim,
serta disempurnakan untuk direalisasikannya dengan bentuk pengamalan melalui
pilar-pilar islam (arkanul islam), yakni mengerjakan shalat, membayar zakat,
berpuasa dibulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.[14]
[1] Muhammad
ibnu Manzhur al-ifriqi al-Mishri, Lisan al-'Arab, Daar Shadr, Beirut,
cet I,tt, vol. XXXI, hal 21
[2] Abu
Manshur al-Mathuridi ed. Fathullah Khulayf, At-Tawhid, Daar
al-Jami'ah al-Mishriyyah, Alexanderia, vol. I, hal 377
[3] Kejelasan
tentang hal ini dapat dibaca dalam: Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj
al-Qusyairi, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Shahih Muslim, Daar
Ihya al-Turats al-'Arabi, Beirut, vol. I, hal 37
[5] Abu
al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, ed. Muhammad Fu'ad Abd
Al-Baqi, Syarh Aqidah al-Thahawiyah, al-Maktab al-Islami, Beirut,
Vol. I, hal 373-374.
[6] Nama
lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibnu Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim
al-Maturidi al-Samarqandi (w. Samarkand, 333H/944 M). Ia seorang Mutakallim
(ahli ilmu kalam/teolog muslim) yang telah banyak menghasilkan pemikiran
mengenai masalah kalam. Pemikirannya banyak banyak dianut oleh kaum muslimin
yang dikenal dengan aliran Maturidiyah:aliran ini termasuk dalam kelompok
Ahlussunah wal-Jamaah. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi. Lihat: Ensiklopedi
Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta, vol. III, t 1999, huruf
"M", hal 206.
[13] Mereka
adalah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka (maksiat) tidak
memberi pengaruh apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak akan
berguna apabila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Syarif Ali bin Muhammad
Al-Jurjani, at-Ta'rifat, Daar al-Kitab al-Ilmiyyah, Beirut, hal
208.
No comments:
Post a Comment