Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keimanan bisa mengalami
peningkatan sekaligus pengurangan, meskipun masalah ini sebenarnya menjadi
medan kontroversi para ulama. Tapi diakui atau tidak, hal itu telah menjadi
kenyataan yang dapat kita saksikan secara riil. Seseorang yang dulu beribadah
ala kadarnya, yang penting gugur kewajiban, akan tetapi tiba-tiba berubah
menjadi tekun dan khusyu' (fokus ibadah). Begitu pula sebaliknya, ada sebagian
orang yang dulunya tekun dan rajin beribadah, kini mulai memudar semangatnya
dan menganggap ibadah hanya sebagai ornamen pelengkap hidup saja.
Para ulama pun menempatkan standar mins-plusnya keimanan
seseorang pada aspek ketaatan praktisnya.[1] Jadi
wajar bila para ulama menklasifikasikan kapasitas keimanan dalam lima hal
berikut ini :[2]
1. Tingkatan awam, yaitu keimanan yang dihasilkan
dengan cara mengambil keterangan (perkataan) seorang guru tanpa mengetahui
dalil-dalilnya, atau biasa disebut taqlid.
2. Tingkatan ashhab al-adillah, yakni seseorang yang
keyaqinannya dibangun atas dasar pengetahuan yang didapat dari penelisikan
sebuah dalil-dalil yang mengukuhkan adanya Tuhan yang menciptakan.[3]
3. Tingkatan Ahl al-Muraqabah, yaitu ukuran keimanan
yang timbul atas ketajaman pengawasan mata hatinya terhadap keesaan dan
kebesaran Allah SWT, dimana setiap kali berfikir tidak pernah luput merenungi
nilai-nilai ketuhanan, dan senantiasa merasa segala gerakannya adalah atas
kontrol Allah SWT.
4. Tingkatan musyahadah, ialah keimanan yang
diperoleh sebab penyaksian mata hatinya kepada Tuhan.
5. Tingkatan haqiqah, yakni keimanan yang berada
pada posisi sudah tidak adanya hal lain kecuali Allah SWT semata, atau biasa
disebut dengan maqam fana' (stadium ketiadaan sesuatupun selain Allah SWT).[4] karena
kelompok ini menganggap semuanya telah sirna kecuali Allah, sehingga yang ada
hanya Dia semata. Inilah strata tertinggi yang mampu dicapai manusia.
Namun diatas derajat ini masih terdapat strata lain yang lebih
tinggi dan hanya milik para Rasul. Akan tetapi, Allah tidak menunjukan kepada
kita tentang sarana menempuh derajat terakhir ini.[5] Demikian
klasifikasi strata keimanan seorang mukmin.
[3] Untuk tingkatan pertama dan kedua ini masih terhalang untuk
dapat menyaksikan (musyahadah) terhadap Allah SWT. Lihat dalam Abu Abd
al-Mu'thi Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kasyifat al-Saja, al-Hidayah, Surabaya,
hal 8
[4] Sedangkan maqam fana' terbagi lagi menjadi tiga tingkatan :
fana' fi dzat, fana fi shifat, dan fana fi al-af'al. Dalam kitab Kasifat
al-Saja', diterangkan bahwa tingkatan fana' adalah pengetahuan-pengetahuan
ketuhanan yang diberikan tidak pada sembarang orang. Hanya mereka yang mendapat
keistimewaan untuk diberinya. Baca : Abi Abdul Mukti Muhammad al-Nawawi
al-Jawi, Kasifat al-saja, al-Hidayah, Surabaya, hal 9
[5] Tapi menurut syekh Kurdi, klasifikasi iman cukup dibagi
empat tingkatan : 1)Munafik, yakni keimanan dengan lisan padahal hatinya inkar.
Mereka adalah orang munafik yang memanfaatkan status keimannya untuk
mendapatkan perlindungan duniawi semata, baik dari segi nyawa, harta dan lain
sebagainya 2) Awam, ialah tingkatan iman yang melekat dalam hati juga
mengucapkannya dengan lisan. Hanya saja, mereka tidak berperilaku sebagaimana
orang beriman. Mereka menanam biji keimanan, akan tetapi tidak pernah kelihatan
memetik buahnya. Justru yang tampak adalah mereka terkesan lebih berani
menentang dan tidak mempedulikan ajaran syari'at 3) Muqarrabin, ialah tingkatan
iman yang memang benar-benar melekat dalam hati. Seseorang yang berada pada
tingkatan ini, membayangkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi atas kontrol
Tuhan. Sehingga, keyaqinannya mengajak pribadinya tidak mau meminta
perlindungan selain kepada-Nya. Semua ciptaan tidak ada yang mampu
mengendalikan diri manusia, baik dalam mencari keuntungan atau melepaskan kebahayaan.
4) Ahli Fana', adalah strata keimanan bagi orang-orang yang telah berhasil
sirna dalam musyahadahnya kepada Allah SWT.
No comments:
Post a Comment