Wednesday 18 March 2015

Zaman Keemasan Islam

Dalam hal bidang pendidikan, yang merupakan hasil dari kebesaran peradaban islamdiantaranya adalah  Kuttab, halaqoh-halaqoh, masjid hingga menjadi madrasah. Dibawah ini saya akan coba uraikan penjelasannya :
A. Kuttab

Kuttab itu sendiri merupakan istilah yang dikenal di jazirah Arab sebelum pra islam, serta berfungsi sebagai lembaga pendidikan terutama dalam hal pengajaran tulis-baca. Dimana pada mulanya, pendidikan bermodelkan Kuttab itu sendiri hanya berlangsung di rumah para guru.

Terdapat dua jenis Kuttab dalam sejarah peradaban islam, yang pertama adalah Kuttab yang berfungsikan mengajar tulis-baca dengan teks dasar puisi-puisi Arab. Sedangkan Kuttab Jenis kedua adalah berfungsi sabagai tempat pengajaran al-qur’an dan dasar-dasar agama islam.Kuttab itu sendiri menjadi hal yang terpenting manakala dibutuhkan untuk pencatatan wahyu yang diterima oleh Rasulullah SAW.

B. Masjid

Masjid pada masa islam klasik mempunyai fungsi jauh lebih besar dan bervariasi dibanding dengan fungsinya yang sekarang. Karena pada masa islam klasik, masjid selain sebagai tempat sarana beribadah, juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat islam. Dan jauh lebih dari itu masjid yang tak kalah pentingnya adalah merupakan sebuah lembaga yang mengajarkan didalamnya tentang masalah pendidikan. Salah satu masjid terpenting sejak awal islam adalah masjid Nabi atau Nabawi yang dibangun oleh Nabi ketika beliau pertama kali hijrah ke Madinah. Dimana di masjid Nabawilah muncul sekelompok para sahabat yang hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah dan belajar yang kemudian disebut dengan ‘ashhab al-shuffah’.Dalam sejarah islam telah dikenal dua type masjid, yang pertama adalah Masjid Jami’, dan yang kedua adalah Masjid. Dimana terdapat perbedaan antara keduanya baik dalam fungsinya sebagai tempat ibadah maupun sebagai lembaga pendidikan.

Masjid Jami’ adalah masjid yang digunakan sebagai tempat melaksanakan ibadah jum’at, sedangkan masjid hanya digunakan sebagai ritual ibadah lainnya, selain Jum’at. Masjid Jami’ didirikan langsung oleh penguasa (khalifah, amir atau sultan), atau oleh orang lain yang mendapat izin resmi dari pemerintah. Sementara masjid biasanya didirikan oleh sekelompok muslim atau seseorang individu untuk memenuhi kebutuhan khusus kelompoknya. Dalam hal ini pendirian masjid tidak membutuhkan izin dari pemerintah. Dan karena pendirian masjid jami’ ini resmi didirikan oleh pemerintah, maka tentu berbeda pula dalam hal fungsi pendidikannya mulai dari masalah pengangkatan guru juga gaji guru semuanya diatur dan ditentukan oleh negara.

C. Madrasah

Madrasah merupakan satu bangunan tempat kegiatan pendidikan tinggi berlangsung. Juga merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan. Sehingga dari sini madrasah dapat dianggap sebagai satu jawaban lanjutan bagi mesin pendidikan islam yang semakin maju.

Pembicaraan mengenai sejarah madrasah selalu dikaitkan dengan nam Nizham Al-Mulk, ia adalah salah seorang wazir Dinasti Saljuk, yang dengan usahanya ia berhasil membangun sejumlah besar madrasah yang disebut dengan Madrasah Nizhamiyah di berbagai kota utama daerah kekuasaan saljuk.


Tuesday 17 March 2015

Falsafah Peripatetik

A. Definisi Peripatetik
Istilah Peripatetik sebetulnya muncul sebagai sebutan bagi pengikut Aristoteles. Karena secara historis peripatetik muncul pada periode pertama Aristotelianisme, yaitu sejak masa Aristoteles sampai meninggalnya Strato (322-270 SM).

Derivasi Peripatetik berasal dari bahasa Yunani, yaitu peripatein yang berarti berkeliling, berjalan-jalan keliling. Kata ini juga menunju pada suatu tempat, beranda, dari Peripatos. Yang mana dalam tradisi Yunani kata ini mengacu pada suatu tempat di serambi gedung olahraga di Athena, yakni tempat dimana Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan.
B. Tokoh Peripatetik klasik

1 . Plato, yang pokok filsafatnya dikenal dengan konsep Teori Idenya, Etika, Falsafah Politiknya, dan Pemikiran keagamaannya.

2. Aristoteles, yang pokok filsafatnya dikenal dengan konsep logikanya, fisikanya, metafisika dan etikanya.

3 . Plotinus, yang pokok filsafatnya dikenal dengan konsep teologi dan kosmologinya, konsep emanasi dan etikanya.



Monday 16 March 2015

Tingginya Harga Orang Beriman

Allah membeli mereka orang-orang yang beriman dengan harga yang lebih tinggi. Karena, harga untuk menjadi orang yang beriman itupun, mahal dan memerlukan perjuangan yang berat sekali.
Untuk mendapatkan emas yang murni saja, maka emas itu harus dibakar dengan panas yang tinggi, begitu pula untuk mendapatkan baja, maka harus dilebur dulu dalam api yang sangat panas. 
Begitu juga keimanan. Allah berfirman didalam al-qur'an surat al-ankabut ayat 2 yang artinya :
"Apakah manusia menyangka akan dibiarkan begitu saja berkata : "kami beriman", padahal mereka belum diuji. Sungguh kami telah menguji orang-orang sebelummu"
Ayat diatas menandakan, betapa nilai sebuah keimanan itu mahal sekali harganya. Sehingga Allah tidak membiarkan orang-orang yang mengaku beriman begitu saja.
Keimanan bukan hanya pengakuan lisan yang biasa berbohong. Oleh karena itu, perlu diuji dengan ujian-ujian yang bisa jadi memerlukan pengorbanan kita, baik harta maupun jiwa itu sendiri.
Dialah Abu Bakar Ash-Shidiq RA. yang berani berkorban dengan harta dan jiwanya. Oleh karenanya tidak heran, ketika Rasulullah SAW memerlukan dana untuk perjuangan membela Agama Allah, dengan spontan Abu Bakar menginfaqkan semua hartanya untuk dipakai dalam perjuangan dijalan Allah, dan beliau juga dikenal paling teguh dalam islam, beliau juga orang yang mula-mula memenuhi seruan Nabi SAW dari kalangan orang-orang dewasa. Beliau adalah Khalifah dalam islam pengganti Rasulullah SAW sesudah beliau tiada, dan beliaulah orang yang diseru pada hari kiamat dari semua pintu syurga yang berjumlah delapan buah sebagaimana kita ketahui semuanya. Oleh karenanya Nabi SAW besabda, "Seandainya keimanan Abu Bakar itu ditimbang dengan keimanan seluruh manusia selain para Nabi, maka tentu keimanan Abu Bakar akan lebih berat." Begitu juga dengan sahabat-sahabat Nabi SAW yang lain, seperti Umar bin khottob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat yang lain, mereka semua adalah orang-orang yang berani membeli keimanannya dengan harga yang mahal dan tinggi sekali.
Ataupun kalau kita mau melihat bagaimana bagaimana keimanan orang yang baru masuk islam (muallaf), serta ketika keimanannya telah ditanamkan dalam qalbunya dan merekapun masuk islam. Merekapun berani mengatakan kepada keluarga, sahabat, dan kerabatnya bahwa dirinya telah masuk islam. Namun, apa yang terjadi pada diri mereka??? mereka diusir dari keluarganya, disiksa, diintimidasi, dilepas dari kemewahan hidupnya dan bahkan sampai mau dibunuh bahkan dibunuh. Akan tetapi, mereka tetap tegar dengan keimanannya, sehingga sampai-sampai kitapun yang keislamannya dimulai sejak lahir, bisa jadi kalah dengan mereka.
Itulah harga sebuah keimanan. Sehingga, orang-orang yang mau membelinya pun, harus benar-benar siap luar dalam.
Adanya suatu cobaan bagi orang yang beriman merupakan suatu kepastian yang mengandung tujuan dan hikmah. Diantara beberapa tujuan dan hikmahnya adalah sebagai berikut :
a. Untuk membersihkan barisan mukmin dari mereka yang hanya mengaku-ngaku beriman. Mereka adalah orang-orang munafik dan orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit. Maka dengan adanya ujian, akan nampak siapa yang ikhlas setia dan yang tidak, seperti terujinya emas murni dan emitasi melalui pembakaran.[1]
b. Mendidik kaum beriman mengasah permata iman dan menjernihkan hati, sehingga keimanan mereka akan menjadi matang dan kuat guna selalu mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya akan putus asa dan prustasi. Yang pada akhirnya mereka akan selalu mendapat rahmat dan petunjuk dari Allah SWT. [2]
c. Meningkatkan derajat dan kedudukan orang-orang beriman disisi Allah SWT. Karena dengan ujian dan cobaan yang beraneka ragam, Allah SWT meninggikan derajat dan kedudukan, melipat gandakan pahala, dan menghapus dosa-dosa. Hal ini seperti yang disabdakan Nabi SAW. "Tidaklah seorang muslim menderita karena kesedihan, kedukaan, kesusahan, kepayahan, kena penyakit, sampai gangguan duri yang menusuk kedalam tubuhnya, kecuali dengan itu Allah mengampuni dosa-dosanya” (H.R. Bukhari)
Cobaan dan ujian pasti datang pada siapapun, tinggal bagaimana menyikapinya. Yang pasti setiap orang yang mendapat ujian dan cobaan, dengan usaha yang optimal dan selalu menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya, maka niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dan pertolongan-Nya. QS. Al-Baqarah ayat 286



[1] Q.S. Al-Mukmin ayat 179 dan Al-Ankabut ayat 10-11 serta Al-Hajj ayat 11
[2] Q.S. AL-Baqarah ayat 155-157


Derajat Keimanan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keimanan bisa mengalami peningkatan sekaligus pengurangan, meskipun masalah ini sebenarnya menjadi medan kontroversi para ulama. Tapi diakui atau tidak, hal itu telah menjadi kenyataan yang dapat kita saksikan secara riil. Seseorang yang dulu beribadah ala kadarnya, yang penting gugur kewajiban, akan tetapi tiba-tiba berubah menjadi tekun dan khusyu' (fokus ibadah). Begitu pula sebaliknya, ada sebagian orang yang dulunya tekun dan rajin beribadah, kini mulai memudar semangatnya dan menganggap ibadah hanya sebagai ornamen pelengkap hidup saja.
Para ulama pun menempatkan standar mins-plusnya keimanan seseorang pada aspek ketaatan praktisnya.[1] Jadi wajar bila para ulama menklasifikasikan kapasitas keimanan dalam lima hal berikut ini :[2]
1. Tingkatan awam, yaitu keimanan yang dihasilkan dengan cara mengambil keterangan (perkataan) seorang guru tanpa mengetahui dalil-dalilnya, atau biasa disebut taqlid.
2. Tingkatan ashhab al-adillah, yakni seseorang yang keyaqinannya dibangun atas dasar pengetahuan yang didapat dari penelisikan sebuah dalil-dalil yang mengukuhkan adanya Tuhan yang menciptakan.[3]
3. Tingkatan Ahl al-Muraqabah, yaitu ukuran keimanan yang timbul atas ketajaman pengawasan mata hatinya terhadap keesaan dan kebesaran Allah SWT, dimana setiap kali berfikir tidak pernah luput merenungi nilai-nilai ketuhanan, dan senantiasa merasa segala gerakannya adalah atas kontrol Allah SWT.
4. Tingkatan musyahadah, ialah keimanan yang diperoleh sebab penyaksian mata hatinya kepada Tuhan.
5. Tingkatan haqiqah, yakni keimanan yang berada pada posisi sudah tidak adanya hal lain kecuali Allah SWT semata, atau biasa disebut dengan maqam fana' (stadium ketiadaan sesuatupun selain Allah SWT).[4] karena kelompok ini menganggap semuanya telah sirna kecuali Allah, sehingga yang ada hanya Dia semata. Inilah strata tertinggi yang mampu dicapai manusia.
Namun diatas derajat ini masih terdapat strata lain yang lebih tinggi dan hanya milik para Rasul. Akan tetapi, Allah tidak menunjukan kepada kita tentang sarana menempuh derajat terakhir ini.[5] Demikian klasifikasi strata keimanan seorang mukmin.


[1] Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, al-Hidayah, Surabaya, hal 83.
[2] Syekh Ibrahim ibnu Muhammad, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah, Surabaya, hal 27
[3] Untuk tingkatan pertama dan kedua ini masih terhalang untuk dapat menyaksikan (musyahadah) terhadap Allah SWT. Lihat dalam Abu Abd al-Mu'thi Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kasyifat al-Saja, al-Hidayah, Surabaya, hal 8
[4] Sedangkan maqam fana' terbagi lagi menjadi tiga tingkatan : fana' fi dzat, fana fi shifat, dan fana fi al-af'al. Dalam kitab Kasifat al-Saja', diterangkan bahwa tingkatan fana' adalah pengetahuan-pengetahuan ketuhanan yang diberikan tidak pada sembarang orang. Hanya mereka yang mendapat keistimewaan untuk diberinya. Baca : Abi Abdul Mukti Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kasifat al-saja, al-Hidayah, Surabaya, hal 9
[5] Tapi menurut syekh Kurdi, klasifikasi iman cukup dibagi empat tingkatan : 1)Munafik, yakni keimanan dengan lisan padahal hatinya inkar. Mereka adalah orang munafik yang memanfaatkan status keimannya untuk mendapatkan perlindungan duniawi semata, baik dari segi nyawa, harta dan lain sebagainya 2) Awam, ialah tingkatan iman yang melekat dalam hati juga mengucapkannya dengan lisan. Hanya saja, mereka tidak berperilaku sebagaimana orang beriman. Mereka menanam biji keimanan, akan tetapi tidak pernah kelihatan memetik buahnya. Justru yang tampak adalah mereka terkesan lebih berani menentang dan tidak mempedulikan ajaran syari'at 3) Muqarrabin, ialah tingkatan iman yang memang benar-benar melekat dalam hati. Seseorang yang berada pada tingkatan ini, membayangkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi atas kontrol Tuhan. Sehingga, keyaqinannya mengajak pribadinya tidak mau meminta perlindungan selain kepada-Nya. Semua ciptaan tidak ada yang mampu mengendalikan diri manusia, baik dalam mencari keuntungan atau melepaskan kebahayaan. 4) Ahli Fana', adalah strata keimanan bagi orang-orang yang telah berhasil sirna dalam musyahadahnya kepada Allah SWT.


Karakteristik Orang Beriman

Tertanamnya keimanan dalam hati akan melahirkan tata nilai ketuhanan (rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah SWT dan hanya kembali kepada-Nya. Dan tentunya tata nilai ketuhanan itu dapat digapai dengan tumbuhnya keyaqinan dalam hati tentang Kemaha-Tunggalan Allah SWT. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah penguasa segala yang ada, dan Dia pula pengatur semua ciptaan-Nya.
Bila kita mau merujuk pada al-Qur'an sekilas penjelasan seputar iman, maka kita akan dapat temukan banyak ayat-ayat yang membicarakan karakteristik orang yang beriman (mu'min), seperti dalam surat al-Anfal ayat 2 : yang artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila  disebut nama Allah, maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka mereka semakin bertambah iman, dan kepada Tuhannyalah mereka pasrah".
Dalam ayat lain juga dijelaskan tentang karakteristik orang yang beriman yaitu al-Qur'an surat al-Mu'minun ayat 1-5 : "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat serta orang-orang yang menjaga kemaluannya"
Dari penjelasan dua ayat tersebut diatas sehingga dapat diketahui bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Bertambahnya iman adalah dengan ketaatan-ketaatan kita, serta berkurangnya iman adalah dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan. Bertambahnya iman hingga mencapai tingkat tidak terhingga, dan berkurangnya iman hingga habis tidak tersisa.


Makna Iman

A. Definisi Iman
Arti iman dalam tinjauan bahasa adalah percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu pada tempat yang aman (baca: pada tempatnya).[1]
Keimanan adalah karunia Allah SWT yang paling besar bagi hamba-hamba-Nya. Tanpa pertolongan-Nya, seseorang tidak akan bisa untuk meraihnya. Seperti firman Allah dalam al-Qur'an Surat Hujurat ayat 17 : "Bahkan Allahlah sebenarnya yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjukan kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar".
Seseorang tidak dapat mengetahui hakikat keimanan orang lain, apalagi memaksakannya.[2] Sedangkan menurut syara', iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW, yakni beriman kepada Allah, kepada para Malaikat, para Nabi, para Rasul, hari Kiamat, Qadha dan Qadar. Demikian makna iman menurut hadits Nabi SAW.[3]
Dalam menjelaskan iman, maka para ulama memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Awza'i dan Imam Ishaq al-rahayh[4], makna iman mencakup keyaqinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW adalah kebenaran (Haq)[5] yang kemudian hal itu ditunjukan dalam amal perbuatan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip al-Thahawi, mengatakan bahwa amal perbuatan tidak termasuk dalam iman. Menurut beliau, iman hanya sebatas amal perbuatan dan pembenaran hati. Sementara Imam al-Maturidi[6] berpendapat bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran hati, sementara pengakuan lisan merupakan pilar (rukun) tambahan dalam keimanan, bukan merupakan unsur utama keimanan.[7]
Namun dengan berbedanya beberapa pandangan tentang hakikat iman, mereka semua sepakat bahwa orang yang tidak meyaqini kebenaran islam adalah orang kafir, sementara orang yang tidak menjalankan perintah agama adalah orang fasik. Sekalipun pandangan mayoritas ahli hadits adalah bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman, dengan meninggalkannya tidak berarti seseorang menjadi kafir, namun ia hanya kehilangan kesempurnaan iman. Dengan demikian substansi beberapa pendapat diatas sebenarnya adalah sama.[8]
Dalam karyanya al-Tawhid, al-Maturidi menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari oleh dua argumen; Petama, berdasarkan penjelasan syara' :  (a). Sebuah ayat yang menerangkan orang munafik. Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang munafik ialah : "Orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka : "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman."[9] (b). Firman Allah ketika suku Badui (A'raby) mengaku telah beriman : "Katakanlah (kepada mereka) : "Kamu belum beriman", tetapi katakanlah : "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu". [10]
 Dari kedua ayat al-Qur'an tersebut diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal.[11]
Kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani.
Namun demikian, beriman dalam arti meyakini kebenaran syariat yang dibawa Nabi SAW adalah sesuatu yang bersifat qalbiyah an sich dan esoteris (batin) yang tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Dan untuk mengetahuinya tentu diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau. Yang tentunya hal itu adalah dengan mengucapkan dua kalimah syahadah yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan ajaran islam. Maka dengan demikian, kesempurnaan iman seseorang dapat diukur melalui keteguhan hati, ucapan dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi SAW. Perbedaan-perbedaan itu timbul karena dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas dalil-dalil yang menjadi landasan utama pendapat mereka.
Yang mana akhirnya, perbedaan dalam memandang tiga komponen tersebut(pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan pengamalan) berakibat pula pada perbedaan keselamatan seseorang diakhirat kelak. Maka dalam hal ini Imam Al-Ghozali menjelaskan secara baik dengan penjelasan yang bertingkat :[12]
1. Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan, semua ulama sepakat bahwa diakhirat kelak ia akan memperoleh surga.
2. Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagian perintah agama dan hanya menjauhi sebagian larangannya. Maka menurut Muktazilah, jika dia melakukan dosa besar berarti ia telah keluar dari keimanannya, ia berada diantara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir. Dan diakhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi (manzilah bayna manzilatayn). Tapi menurut Ahlussunnah wal-Jamaah, keputusannya dikembalikan (diserahkan sepenuhnya) kepada Allah SWT. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukannya.
3. Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Dengan demikian, tidak ada iman tanpa amal, sebab amal adalah komponen iman. Pendapat Abu Thalib ini dilandasi oleh ayat al-Qur'an surat al-Buruj ayat 11, yang artinya "Orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan", akan tetapi hal itu mendapat komentar dari Imam Ghozali, bahwa ayat tersebut justru menunjukan pembedaan iman dan amal saleh. Dimana dalam ayat ini antara iman dan amal diposisikan dalam kerangka makna yang berbeda. Bahkan pendapat lain mengatakan bahwa amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan hanya penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tapi tidak beramal, maka keputusannya dikembalikan kepada kebijakan Allah SWT. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal akan dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada dineraka selama-lamanya.
4. Orang yang membenarkan dalam hati, namun belum sempat mengakui dengan ucapan, dan ia terlebih dahulu meninggal dunia. Maka menurut Ahlussunah Wal-Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman disisi Allah. Dan dalam hadits qudsi dikatakan : "Bahwa akan keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman, meski seberat semut". Sementara pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia tidak termasuk orang yang beriman dan akan kekal selamanya dineraka. Hal itu karena mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang.
5. Orang yang membenarkan dengan hati (baca : beriman) tetapi ia menunda pengucapan syahadat, padahal ia tahu bahwa syahadat ialah syarat seseorang disebut muslim. Maka Ahlussunah berpendapat bahwa orang yang seperti ini disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat. Ia diakhirat akan mendapat siksa walaupun tidak selamanya. Sedangkan pendapatnya golongan Murjiah[13] berpandangan bahwa orang seperti ini tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga.
6. Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Maka Ulama sepakat, bahwa orang yang melakukan tindakan tersebut diancam dengan neraka, karena sebenarnya ia tergolong orang kafir. Jadi, walaupun selama hidupnya ia diakui sebagai seorang muslim-karena telah mengucapkan kalimah syahadat-, namun diakhirat kelak,ia akan kekal di jurang neraka. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini dikenal sebagai orang munafik. Yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadah hanya untuk memperoleh keamanan duniawi semata.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditemukan benang merah tentang pengertian iman sebenarnya (hakiki) adalah Membenarkan dengan hati secara Mutlak atas apa saja yang datangnya dari Nabi SAW. Dan mewujudkan status keimanannya tersebut dengan bentuk sarana pengucapan dua kalimah syahadah sebagai syarat mutlak agar seseorang dikatakan muslim, serta disempurnakan untuk direalisasikannya dengan bentuk pengamalan melalui pilar-pilar islam (arkanul islam), yakni mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa dibulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.[14]





[1] Muhammad ibnu Manzhur al-ifriqi al-Mishri, Lisan al-'Arab, Daar Shadr, Beirut, cet I,tt, vol. XXXI, hal 21
[2] Abu Manshur al-Mathuridi ed. Fathullah Khulayf, At-Tawhid, Daar al-Jami'ah al-Mishriyyah, Alexanderia, vol. I, hal 377
[3] Kejelasan tentang hal ini dapat dibaca dalam: Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Shahih Muslim, Daar Ihya al-Turats al-'Arabi, Beirut, vol. I, hal 37
[4] Para tokoh yang disebut diatas adalah para ulama dibidang hadits dan ilmu hadits
[5] Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, ed. Muhammad Fu'ad Abd Al-Baqi, Syarh Aqidah al-Thahawiyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Vol. I, hal 373-374.
[6] Nama lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibnu Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi al-Samarqandi (w. Samarkand, 333H/944 M). Ia seorang Mutakallim (ahli ilmu kalam/teolog muslim) yang telah banyak menghasilkan pemikiran mengenai masalah kalam. Pemikirannya banyak banyak dianut oleh kaum muslimin yang dikenal dengan aliran Maturidiyah:aliran ini termasuk dalam kelompok Ahlussunah wal-Jamaah. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi. Lihat: Ensiklopedi Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, jakarta, vol. III, t 1999, huruf "M", hal 206.
[7] Syarah Aqidah al-Thahawiyah, Loc. cit.
[8]Semua pendapat yang diuraikan diatas masih berkisar pendapat-pendapat para teolog Ahlussunnah.
[9] Q.S. Al-Maidah ayat 41.
[10] Q.S. Al-Hujurat ayat 14.
[11] Abu Mansur al-Maturidi, ed. Fathullah Khulayf, Op. cit, hal 373 dst.
[12] Abu Hamid Muhammad al-Ghozali, Qowaid al-Aqaid, Beirut, hal 231-250
[13] Mereka adalah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka (maksiat) tidak memberi pengaruh apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak akan berguna apabila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjani, at-Ta'rifat, Daar al-Kitab al-Ilmiyyah, Beirut, hal 208.
[14] Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, Loc. cit


Saturday 14 March 2015

Aksiologi

A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.[1]
Aksiologi berasal dari kata Yunaniaxion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai.
Pertanyaan di wilayah ini menyangkut, antara lain:[2]
·    Untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan?
·    Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral?
·    Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
·   Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan professional? (filsafat etika).
B. Perkembangan Aksiologi
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Dalam perkembangan sejarar etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedonisme adalah pandangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika dibahas dalam sesi lain. yang jelas, estetika membicarakan tentang indah dan tidak indah.




[1] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Hal 91
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi


Friday 13 March 2015

Cabang Metafisika Berupa Faham Agnotisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda (baik hakikat materi maupun hakikat ruhani). Kata  Agnoticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti Unknown A artinya NotGno artinya Know.[1]
Timbulnya aliran ini karena belum dapatnya manusia mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.[2]
Jadi, Agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia untuk mengetahui hakikat benda (baik materi maupun non materi). Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya untuk mengetahui hakikat.[3]


[1] A. Tafsir, Op. Cit hal 515
[2] Hasbullah Bakry, Op, Cit. hal 60
[3] A. Tafsir, Op. Cit hal 30


Cabang Metafisika Berupa Faham Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti Nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah Nihilisme ini diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin atau faham ajaran tentang Nihilisme tersebut sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, Tidak ada sesuatupun yang eksis. Atau dengan kata lain realitas itu sebenarnya tidak ada.
Bahkan seorang Zeno pun pernah sampai pada kesimpulan bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba pada paradoks. Dimana kita harus menyatakan realitas itu tunggal dan banyak, terbatas dan tak terbatas, dicipta dan tak dicipta. Dan karena kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subyektif. Kita berfikir sesuai kemauan ide kita, yang kita terapkan pada fenomena. Ketiga, Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beri tahukan pada orang lain.


Cabang Metafisika Berupa Faham Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segala macam bentuk itu semuanya adalah nyata (hakiki).[1]. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai faham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 Unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.[2] Tokoh modern dalam aliran ini adalah William James (1842-1910 M), kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang Psikolog dan Filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu, senantiasa berubah, karena dalam praktiknya, apa yang kita anggap benar, dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman Khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.[3] Dunia bukanlah suatu Universum, melainkan suatu Multi-Versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.



[1] Sunoto, Op. cit hal 71
[2] William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion, Eastern and Western Thought, New York : Humaniti Books, 1996, hal 591
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, Yogyakarta : Kanisius, cet 18, 2002 hal 132


Cabang Metafisika Berupa Faham Dualisme

Aliran ini mengatakan bahwa hakikat itu ada dua, yaitu hakikat ruhani dan hakikat materi. Dimana ruhani bukan muncul dari materi, begitu juga materi bukan muncul dari ruhani. Artinya bahwa kedua macam hakikat ini (materi atau Non Materi) masing-masing bebas dan berdiri sendiri, dimana keduanya sama-sama azali dan abadi. Dan juga, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam ini. Contohnya yang paling jelas adalah tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini ialah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak Filsafat Modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Descartes meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat di indera. Dia juga meragukan badannya sendiri. Bahkan dialam mimpi juga yang seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (dalam keadaan terjaga), akan tetapi dalam kenyataannya hal itu tidaklah terjadi. Sehingga tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Akibatnya, ia menyatakan bahwa ada satu yang tidak dapat diragukan, yaitu saya sedang ragu. Baginya, boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, akan tetapi mengenai saya sedang ragu benar-benar tidak dapat diragukan adanya.
Aku yang sedang ragu ini, adalah disebabkan oleh aku yang sedang berfikir. Kalau begitu, aku berfikir pasti ada dan benar. Dan jika berfikir itu ada, berarti aku ini ada, sebab yang berfikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berfikir jadi aku ada. Paham ini kemudian dikenal dengan faham rasionalisme, yaitu faham Filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.[1]




[1] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, cet ke 18, 2001, hal 45.


Thursday 12 March 2015

Cabang Metafisika Berupa Faham Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh eksistensi dan kenyataan yang ada itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Atau dengan kata lain bahwa hakikat sebagai sumber yang asal itu hanya satu (baik yang asal itu berupa materi ataupun non materi). Menurut paham ini tidak mungkin ada hakikat dari seluruh yang ada ini yang masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan dalam menentukan perkembangan yang lainnya atau dalam istilah lain disebut "dari yang Eka, menjadi yang Aneka".
Istilah monisme ini, oleh seorang Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber atau hakikat yang asal itu adalah materi, bukan non materi (rohani). Aliran ini sering disebut juga dengan aliran Naturalisme, yang menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[1] Yang ada hanyalah Materi, dan yang lainnya seperti jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
Sebenarnya antara Materialisme dan Naturalisme ada sedikit perbedaan. Namun begitu, Materialisme dapat dianggap sebagai suatu penampakan diri dari Naturalisme.[2] Naturalisme berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada.[3] Yang dimaksud alam disini ialah segala-galanya, meliputi benda dan ruh. Jadi, benda dan ruh sama nilainya, dianggap sebagai alam yang satu. Sebaliknya Materialisme menganggap ruh adalah kejadian dari benda. Jadi tidak sama nilainya antara benda dan ruh seperti dalam Naturalisme.
Dari segi dimensinya, paham ini sering dikaitkan dengan teori Atomisme. Yang mana menurut teori ini, bahwa semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur tersebut bersifat tetap dan tidak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari unsur itulah yang dinamakan Atom-atom.
Aliran pemikiran ini sebetulnya dipelopori oleh bapak filsafat, yaitu Thales (624-546 SM), dimana ia berpendapat bahwa Unsur asal adalah Air, karena pentingnya bagi kehidupan.[4] Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara adalah merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang merupakan kejadian alam.[5]
Dalam perkembangannya, sebagai aliran yang paling tua, paham ini timbul dan tenggelam seiring roda kehidupan manusia yang selalu diwarnai dengan filsafat dan agama.
Beberapa alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda, diantaranya adalah :
a. Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Dimana pikiran sederhana ini tidak mampu memikirkan sesuatu diluar ruang yang abstrak.
b. Penemuan-penemuan menunjukan bahwa betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Dimana jasmani, lebih menonjol dalam peristiwa ini.
c.  Dalam sejarahnya, manusia memang bergantung pada benda, seperti pada Padi (yang hampir menjadi makanan pokok seluruh manusia dibelahan bumi). Diamana Dewi Sri dan Tuhan muncul disitu. Yang kesemuanya ini memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.
b. Idealisme
Sebagai lawan dari Materialisme adalah aliran Idealisme yang sering disebut juga dengan aliran Spiritualisme.
Idealisme terambil dari kata "Idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan atau eksistensi yang beraneka ragam itu semuanya berasal dari ruh (sukma) atau yang sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang dan waktu. Materi atau Zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan Ruhani (non Materi).[6]
Beberapa alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat dari eksistensi adalah Ruhani (Non Materi), spirit atau sebagainya adalah :
a. Nilai Ruh lebih tinggi dari pada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Sehingga Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Materi hanyalah bayangan atau penjelmaan saja dari Ruh.
b. Manusia lebih memahami dirinya sendiri, dari pada dunia diluar dirinya.
c. Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Materi tidak ada, yang ada hanyalah energi (Ruh/Non Materi).[7]
Dan didalam perkembanganya, aliran ini ditemui pada ajaran Plato (428-348 SM) yang terkenal dengan teori Ideanya. Menurutnya, bahwa tiap-tiap yang di alam ini, mesti ada Ideanya, yaitu konsep Universal dari tiap sesuatu.[8]




[1] Sunoto, Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia, Yogyakarta, 1983, Andi Offset hal 70
[2] Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Jakarta : Widjaya, 1992 hal 52
[3] Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy, Terjemahan Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana, cet VII, 1996, hal 216
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung : Rosda Karya, 2002, hal 29
[5] Jujun S. Suiasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996 hal 64
[6] Hasbullah Bakry, Op. cit hal 56, Lihat Juga Sunoto, Op. cit hal 70
[7] Ahmad Tafsir, Op. Cit. hal 30
[8] Amsal Bakhtiar, Op. Cit. hal 139