Sejak
sebelum kedatangan islam, Bangsa Arab dikenal memiliki kebudayaan yang Non-Materiil, yang
dilestarikan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Dikalangan mereka
juga, banyak para pujangga, penyair, penutur cerita prosa, atau penunggang kuda
yang tangkas. Dimana kelebihan-kelebihan seperti itu dijadikan syarat mutlak untuk
diraihnya status sosial, baik dikabilahnya sendiri maupun di hadapan kabilah
lain.
Sementara itu,
kedudukan sastra dalam masyarakat Arab sudah seperti ajaran agama. Mereka
memposisikan syair-syair tersebut laksana kalam hikmah yang harus diikuti dan
ditaati, serta si penyairnya diposisikan layaknya Nabi yang memiliki ajaran
Hikmah tingkat tinggi. Dalam membuat suatu keputusan hukum, misalnya, bangsa
Arab juga banyak yang merujuk pada syair-syair yang ditulis para penyair pada
masa itu. Akibatnya, perselisihan dan keharmonisan antar suku, atau tinggi
rendahnya status sosial, sangat dipengaruhi oleh ahli tidaknya seseorang dalam
membuat dan membacakan syair. Tentunya setiap kabilah akan merasa bangga, jika
diantara warga mereka ada yang menjadi tukang syair.
Cara bangsa Arab menerima
syair biasanya dengan cara mengundang para penyair ke berbagai acara, baik
acara keluarga maupun acara kolosal. Disana para penyair diminta untuk
membacakan syair-syair mereka kepada para hadirin atau tamu undangan.[1] Sejak sebelum kedatangan
islam, dikalangan bangsa Arab terdapat nama-nama penyair terkenal dan populer serta
mempunyai posisi sangat terhormat. Mereka antara lain adalah Imri' al-Qais,
Nabighah Al-Dzibyani, Zuhair bin Abi Salma dan al-Asya'.[2] Mereka dinilai sebagai
dewa-dewa kesusastraan Arab yang sangat diidolakan dan diagung-agungkan. Setiap
patah kata yang keluar dari mulut mereka, diposisikan layaknya sabda seorang
Nabi yang harus didengarkan dan dipatuhi.
Disamping kebanggaan dalam
bidang kesusastraan, bangsa Arab juga memuja-muja kekuatan dan ketangkasan
individual. Identitas sosial bagi setiap individu banyak didasarkan pada aspek
kekuatan, keperkasaan, ketangkasan, kemahiran, dan keahlian-keahlian tertentu
lainnya, seperti menunggang kuda, memanah, memainkan pedang, dan lain
sebagainya.
Hal lain yang menjadi ciri
khas kabilah-kabilah Arab adalah kesetiaan dan solidaritas
antar kelompok. Kesetiaan menjadi sumber kekuatan utama setiap suku. Bahkan
bila ada diantara anggota suku yang membelot, maka hukumannya adalah mati.
[1] Acara-acara
yang biasa mendatangkan ahli syair, antara lain : pasar tahunan, resepsi
keluarga, atau pelaksanaan ibadah haji. Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Abi
Ya'qub bin Ja'far al-Abbasi, Tarikh al-Ya'qubi, Daar
Shadr, vol. I, hal 261.
[2] Selengkapnya
lihat Ahmad Fahmi Muhammad, catatan kaki al-Milal wa al-Nihal, Abdul
Karim Syahrastani, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut
No comments:
Post a Comment