Wednesday 11 March 2015

Budaya Arab Pra Islam

Sejak sebelum kedatangan islam, Bangsa Arab dikenal memiliki kebudayaan yang Non-Materiil, yang dilestarikan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Dikalangan mereka juga, banyak para pujangga, penyair, penutur cerita prosa, atau penunggang kuda yang tangkas. Dimana kelebihan-kelebihan seperti itu dijadikan syarat mutlak untuk diraihnya status sosial, baik dikabilahnya sendiri maupun di hadapan kabilah lain.
Sementara itu, kedudukan sastra dalam masyarakat Arab sudah seperti ajaran agama. Mereka memposisikan syair-syair tersebut laksana kalam hikmah yang harus diikuti dan ditaati, serta si penyairnya diposisikan layaknya Nabi yang memiliki ajaran Hikmah tingkat tinggi. Dalam membuat suatu keputusan hukum, misalnya, bangsa Arab juga banyak yang merujuk pada syair-syair yang ditulis para penyair pada masa itu. Akibatnya, perselisihan dan keharmonisan antar suku, atau tinggi rendahnya status sosial, sangat dipengaruhi oleh ahli tidaknya seseorang dalam membuat dan membacakan syair. Tentunya setiap kabilah akan merasa bangga, jika diantara warga mereka ada yang menjadi tukang syair.
Cara bangsa Arab menerima syair biasanya dengan cara mengundang para penyair ke berbagai acara, baik acara keluarga maupun acara kolosal. Disana para penyair diminta untuk membacakan syair-syair mereka kepada para hadirin atau tamu undangan.[1] Sejak sebelum kedatangan islam, dikalangan bangsa Arab terdapat nama-nama penyair terkenal dan populer serta mempunyai posisi sangat terhormat. Mereka antara lain adalah Imri' al-Qais, Nabighah Al-Dzibyani, Zuhair bin Abi Salma dan al-Asya'.[2] Mereka dinilai sebagai dewa-dewa kesusastraan Arab yang sangat diidolakan dan diagung-agungkan. Setiap patah kata yang keluar dari mulut mereka, diposisikan layaknya sabda seorang Nabi yang harus didengarkan dan dipatuhi.
Disamping kebanggaan dalam bidang kesusastraan, bangsa Arab juga memuja-muja kekuatan dan ketangkasan individual. Identitas sosial bagi setiap individu banyak didasarkan pada aspek kekuatan, keperkasaan, ketangkasan, kemahiran, dan keahlian-keahlian tertentu lainnya, seperti menunggang kuda, memanah, memainkan pedang, dan lain sebagainya.
Hal lain yang menjadi ciri khas kabilah-kabilah Arab adalah kesetiaan dan solidaritas antar kelompok. Kesetiaan menjadi sumber kekuatan utama setiap suku. Bahkan bila ada diantara anggota suku yang membelot, maka hukumannya adalah mati.



[1] Acara-acara yang biasa mendatangkan ahli syair, antara lain : pasar tahunan, resepsi keluarga, atau pelaksanaan ibadah haji. Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Abi Ya'qub bin Ja'far al-Abbasi, Tarikh al-Ya'qubi, Daar Shadr, vol. I, hal 261.
[2] Selengkapnya lihat Ahmad Fahmi Muhammad, catatan kaki al-Milal wa al-Nihal, Abdul Karim Syahrastani, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut



No comments:

Post a Comment