Sunday 26 April 2020

THOHAROH (BERSUCI)

A. Pengertian Taharah

Taharah adalah bersuci sedangkan menurut istilah membersihkan diri, pakaian dan tempat dari hadas dan najis. Bersuci dalam Islam terbagi dua yaitu pertama bersuci dari hadas ini hanya bisa terjadi pada badan bukan pada pakaian dan tempat karena yang dimaksud dengan hadas adalah kondisi yang dialami oleh seseorang mukalaf yang menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah sebelum mereka bersuci, dan yang kedua adalah bersuci dari najis. Hal ini bisa terjadi pada badan pakaian dan tempat.

B. Bersuci dari Najis
 
1. Benda-benda Najis 
Sebelum membahas tentang bagaimana kaifiah (tatacara) bersuci dari najis, hendaknya kita memahami benda atau wujud dari najis terlebih dahulu. Najis atau istilah fiqh dengan kata khubuts (najis) adalah sesuatu yang kotor atau menjijikan. Khubuts ini harus dibersihkan ketika hendak salat.

Adapun benda-benda khubuts (najis) adalah: 

a. Bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalan), daging babi, tai, nanah, muntah, kencing dan darah (kecuali hati dan limpah) Jenis ini termasuk yang diharamkan oleh Allah swt. untuk dimakan, karena mengandung unsur najis yang harus dibersihkan ketika hendak menunaikan salat. Hal ini sebagaimana firman Allah swt.

Artinya : Katakanlah aku tidak jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir/ memancar, atau daging babi, karena itu adalah najis. (QS al-An’am/6: 145).

Bangkai meliputi bangkai binatang darat yang memiliki darah mengalir ketika disembelih, bukan bangkai binatang belalang dan bukan bangkai binatang laut. Karena Rasulullah secara tegas bersabda:

Artinya :  Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya. (HR. Bukhari).

Juga termasuk bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam suatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.  Dalam Hadis :

Artinya : Dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan darah, adapun dua bangkai ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah ialah hati dan limpa. (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Daraquthni).

b. Anjing dan Babi serta hewan yang dilahirkan dari keduanya. 
Adapun dalil najisnya anjing adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nabi saw.. bersabda:
 
Artinya : Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka bersihkanlah kemudian basuhlah sebanyak tiga kali....(al-hadis)

c. Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup 
Mengambil sebagian daging dari anggota badan binatang yang masih hidup adalah najis. Hal ini didasarkan kepada hadis dari Abu Waqid al-Laits yang mengatakan bahwa Rasulullah saw.  telah bersabda:

Artinya : “Sesuatu yang dipotong dari seekor binatang, sedang ia masih hidup maka potongan tersebut termasuk bangkai.” 

d. Muntah, air kencing dan kotoran manusia. 
Semua ulama sepakat bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah najis. Kecuali jika muntahnya itu sedikit, maka dimaafkan. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw.:

Artinya : Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan salat, maka hendaklah keluar dari salatnya dan berwudulah.
 
Selain muntah sebagai najis, air kencing dan kotoran pun dihukumi najis, karena sesuatu yang keluar dari qubul maupun dubur dihukumi najis. Tetapi, diberi keringanan bagi air kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali air susu ibunya. 

e. Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul 
Setiap sesuatu yang keluar dari dubur maupun kubul adalah najis, baik berupa cairan maupun benda padat. Di antara sesuatu yang keluar dari kubul adalah wadi, mazi, dan mani. Adapun wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang mazi adalah air yang berwarna putih, bergetah yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan tetapi keluarnya tidak disertai kenikmatan.  Keluarnya wadi dan mazi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi cukup membersihkan kemaluannya dan berwudu, hal ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: 

Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya kerapkali mengeluarkan mazi, sedang saya sendiri malu menanyakannya kepada Rasulullah saw., karena putrinya menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab, “Hendaklah ia basuh kemaluannya, dan berwudulah.”  Adapun mani sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, tetapi disunatkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Aisah berkata, “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar). 

Dan dari Ibnu Abbas ra berkata: 

Nabi saw. pernah ditanya mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawabnya, “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi, dan Thawawi).  Meskipun mani dihukumi suci, namun mani menyebabkan seseorang diwajibkan untuk mandi junub. Mandi junub itu sendiri merupakan cara membersihkan hadas besar. 

f. Khamar 
Khamar merupakan salah satu yang diharamkan oleh Allah swt. berdasarkan firman-Nya:

Artinya : Hai orang-orang beriman, sesungguhny khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaithan.” (QS al-Maidah/5: 90)

2.  Kaifiah Bersuci dari Najis 

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menghilangkan khubuts atau najis.

a. Dengan menggunakan air 
Ketika terdapat benda najis, maka cukup dibersihkan dengan air. Namun, cara membersihkan najis dengan air ini tergantung kepada kategori najisnya. Najis dikategorikan kepada najis ringan (mukhaffafah), sedang (mutawassithah), dan berat (mughallazah). Adapun kaifiah membersihkan kategori najis ringan (mukhaffafah) adalah cukup dengan memercikkan air. Kategori najis ini ada pada najis air kencing bayi laki-laki yang belum mengonsumsi makanan apapun selain air susu ibunya (asi). Kemudian kaifiah membersihkan najis kategori najis sedang (mutawassithah) adalah dengan membersihkan benda yang terkena najis tersebut sehingga hilang rasa, warna, dan baunya. Sedangkan najis mughallazah (berat) maka wajib dibersihkan dengan tujuh kali dan salah satunya dengan debu. Kategori najis mughallazah adalah najis jilatan anjing. 

b. berubahnya benda najis menjadi sesuatu yang baik, seperti perubahan khamar menjadi cuka dan darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik (parfum) dengan sendirinya tanpa dicampur dengan benda apapun.

c. Membakar benda najis dengan api. 
Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama Hanafinyah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa membakar benda najis dengan api tidak dapat mensucikan benda tersebut. Mereka beralasan bahwa debu dan asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama Malikiyah yang berpendapat bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis. 

d. Menyamak kulit hewan yang najis. 
Setiap hewan yang najis sebab penyamakan, baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal dimakan dagingnya, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk salat karena telah suci dengan sebab penyamakan. Hal ini didasarkan kepada hadis Maimunah r.a ketika ia ditanya oleh Nabi Muhammad saw. perihal kambingnya.

Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus? Para sahabat berkata: kambing ini bangkai. Rasulullah saw. berkata: kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan daun salam.”  

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas r.a.

Apabila kulit bangkai itu sudah disamak, maka ia menjadi suci. (HR. Muslim). 

Ada beberapa keterangan dari Rasulullah saw. ketika membersihkan najis, di antaranya adalah membersihkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki yang masih menyusui yaitu cukup dengan memercikkan air di atasnya dan tidak perlu dicuci. Rasulullah juga memerintahkan untuk mencuci bejana yang terkena jilatan anjing, dibasuh tujuh kali, yang pertama atau salah satunya dengan tanah. Boleh juga menggantikan tanah dengan sabun atau pembersih lain yang kuat.  Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh al-Azhar di Mesir, ketentuan pencucian bejana yang dijilat anjing, sebanyak tujuh kali, satu di antaranya dengan air bercampur tanah, tidak harus dipahami secara harfiyah. Yang penting, mencucinya beberapa kali sedemikian rupa sehingga diyakini bejana tersebut telah bersih dari air liur anjing. Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang kuat. 

No comments:

Post a Comment