A. Pengertian Taharah
Taharah adalah bersuci
sedangkan menurut istilah membersihkan diri, pakaian dan tempat dari hadas dan
najis. Bersuci dalam Islam terbagi dua yaitu pertama bersuci dari hadas ini
hanya bisa terjadi pada badan bukan pada pakaian dan tempat karena yang
dimaksud dengan hadas adalah kondisi yang dialami oleh seseorang mukalaf yang
menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah sebelum mereka bersuci, dan yang
kedua adalah bersuci dari najis. Hal ini bisa terjadi pada badan pakaian dan
tempat.
B. Bersuci dari Najis
1. Benda-benda
Najis
Sebelum membahas tentang
bagaimana kaifiah (tatacara) bersuci dari najis, hendaknya kita memahami benda
atau wujud dari najis terlebih dahulu. Najis atau istilah fiqh dengan kata
khubuts (najis) adalah sesuatu yang kotor atau menjijikan. Khubuts ini harus
dibersihkan ketika hendak salat.
Adapun benda-benda khubuts (najis) adalah:
a. Bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalan), daging
babi, tai, nanah, muntah, kencing dan darah (kecuali hati dan limpah) Jenis ini
termasuk yang diharamkan oleh Allah swt. untuk dimakan, karena mengandung unsur
najis yang harus dibersihkan ketika hendak menunaikan salat. Hal ini
sebagaimana firman Allah swt.
Artinya : Katakanlah aku tidak jumpai
di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali
bangkai, atau darah yang mengalir/ memancar, atau daging babi, karena itu
adalah najis. (QS al-An’am/6: 145).
Bangkai meliputi bangkai binatang darat
yang memiliki darah mengalir ketika disembelih, bukan bangkai binatang belalang
dan bukan bangkai binatang laut. Karena Rasulullah secara tegas bersabda:
Artinya : Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya.
(HR. Bukhari).
Juga termasuk bangkai binatang yang
tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia
adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam suatu dan mati di sana, maka tidaklah
menyebabkan bernajis. Dalam Hadis :
Artinya : Dihalalkan kepada kita dua
macam bangkai dan darah, adapun dua bangkai ialah bangkai ikan dan belalang,
sedang mengenai darah ialah hati dan limpa. (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah,
Baihaqi, dan Daraquthni).
b. Anjing dan Babi serta hewan yang
dilahirkan dari keduanya.
Adapun dalil najisnya anjing adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nabi saw.. bersabda:
Artinya : Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka
bersihkanlah kemudian basuhlah sebanyak tiga kali....(al-hadis)
c. Potongan daging dari anggota badan
binatang yang masih hidup
Mengambil sebagian daging dari anggota
badan binatang yang masih hidup adalah najis. Hal ini didasarkan kepada hadis
dari Abu Waqid al-Laits yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
Artinya : “Sesuatu yang dipotong dari
seekor binatang, sedang ia masih hidup maka potongan tersebut termasuk
bangkai.”
d. Muntah, air kencing dan kotoran
manusia.
Semua ulama sepakat bahwa muntah, air
kencing dan kotoran manusia adalah najis. Kecuali jika muntahnya itu sedikit,
maka dimaafkan. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw.:
Artinya : Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan salat, maka
hendaklah keluar dari salatnya dan berwudulah.
Selain muntah sebagai najis, air
kencing dan kotoran pun dihukumi najis, karena sesuatu yang keluar dari qubul
maupun dubur dihukumi najis. Tetapi, diberi keringanan bagi air kencing bayi
laki-laki yang belum makan kecuali air susu ibunya.
e. Sesuatu yang keluar dari dubur atau
kubul
Setiap sesuatu yang keluar dari dubur
maupun kubul adalah najis, baik berupa cairan maupun benda padat. Di antara
sesuatu yang keluar dari kubul adalah wadi, mazi, dan mani. Adapun wadi adalah
air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi
keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang mazi adalah air yang
berwarna putih, bergetah yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan
tetapi keluarnya tidak disertai kenikmatan.
Keluarnya wadi dan mazi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi cukup
membersihkan kemaluannya dan berwudu, hal ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim:
Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya
kerapkali mengeluarkan mazi, sedang saya sendiri malu menanyakannya kepada
Rasulullah saw., karena putrinya menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad
untuk menanyakannya. Miqdad pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab,
“Hendaklah ia basuh kemaluannya, dan berwudulah.” Adapun mani sebagian ulama berpendapat bahwa
ia adalah suci, tetapi disunatkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya
bila kering. Aisah berkata, “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia
kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan
al-Bazzar).
Dan dari Ibnu Abbas ra berkata:
Nabi saw. pernah ditanya mengenai mani
yang mengenai kain. Maka jawabnya, “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka
cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.”
(Riwayat Daruquthni, Baihaqi, dan Thawawi).
Meskipun mani dihukumi suci, namun mani menyebabkan seseorang diwajibkan
untuk mandi junub. Mandi junub itu sendiri merupakan cara membersihkan hadas
besar.
f. Khamar
Khamar merupakan salah satu yang
diharamkan oleh Allah swt. berdasarkan firman-Nya:
Artinya : Hai orang-orang beriman,
sesungguhny khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib itu adalah najis,
termasuk pekerjaan syaithan.” (QS al-Maidah/5: 90)
2. Kaifiah Bersuci dari Najis
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk
menghilangkan khubuts atau najis.
a. Dengan menggunakan air
Ketika terdapat benda najis, maka cukup
dibersihkan dengan air. Namun, cara membersihkan najis dengan air ini
tergantung kepada kategori najisnya. Najis dikategorikan kepada najis ringan
(mukhaffafah), sedang (mutawassithah), dan berat (mughallazah). Adapun kaifiah
membersihkan kategori najis ringan (mukhaffafah) adalah cukup dengan
memercikkan air. Kategori najis ini ada pada najis air kencing bayi laki-laki
yang belum mengonsumsi makanan apapun selain air susu ibunya (asi). Kemudian
kaifiah membersihkan najis kategori najis sedang (mutawassithah) adalah dengan
membersihkan benda yang terkena najis tersebut sehingga hilang rasa, warna, dan
baunya. Sedangkan najis mughallazah (berat) maka wajib dibersihkan dengan tujuh
kali dan salah satunya dengan debu. Kategori najis mughallazah adalah najis
jilatan anjing.
b. berubahnya benda najis menjadi
sesuatu yang baik, seperti perubahan khamar menjadi cuka dan darah ghazal
(kijang) menjadi minyak misik (parfum) dengan sendirinya tanpa dicampur dengan
benda apapun.
c. Membakar benda najis dengan
api.
Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama
Hanafinyah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa membakar benda najis
dengan api tidak dapat mensucikan benda tersebut. Mereka beralasan bahwa debu
dan asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama Malikiyah yang berpendapat
bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis.
d. Menyamak kulit hewan yang najis.
Setiap hewan yang najis sebab
penyamakan, baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak
halal dimakan dagingnya, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk
salat karena telah suci dengan sebab penyamakan. Hal ini didasarkan kepada
hadis Maimunah r.a ketika ia ditanya oleh Nabi Muhammad saw. perihal
kambingnya.
Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu
lebih bagus? Para sahabat berkata: kambing ini bangkai. Rasulullah saw.
berkata: kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan daun salam.”
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas r.a.
Apabila kulit bangkai itu sudah
disamak, maka ia menjadi suci. (HR. Muslim).
Ada beberapa keterangan dari Rasulullah
saw. ketika membersihkan najis, di antaranya adalah membersihkan pakaian yang
terkena air kencing bayi laki-laki yang masih menyusui yaitu cukup dengan
memercikkan air di atasnya dan tidak perlu dicuci. Rasulullah juga
memerintahkan untuk mencuci bejana yang terkena jilatan anjing, dibasuh tujuh
kali, yang pertama atau salah satunya dengan tanah. Boleh juga menggantikan
tanah dengan sabun atau pembersih lain yang kuat. Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan
Syaikh al-Azhar di Mesir, ketentuan pencucian bejana yang dijilat anjing,
sebanyak tujuh kali, satu di antaranya dengan air bercampur tanah, tidak harus
dipahami secara harfiyah. Yang penting, mencucinya beberapa kali sedemikian
rupa sehingga diyakini bejana tersebut telah bersih dari air liur anjing.
Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang
kuat.
No comments:
Post a Comment