Tuesday 28 April 2020

Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu dan Penjelasan Masalah Mandi

1) Perkara Yang Membatalkan Wudu: 
a) Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul, seperti: air kencing, mazi, wadi dan mani dan kotoran lainnya.  
b) Tidur nyenyak hingga tidak sadar dan tidak tetap tempat duduknya.  
c) Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk, atau disebabkan minum obatobatan, baik kadar obat tersebut sedikit maupun banyak. Hilangnya kesadaran yang diakibatkan oleh minum obat-obatan lebih dahsyat berbanding sewaktu tidur. Inilah pendapat yang telah disepakati para ulama.   
d) Menyentuh kemaluan tanpa alas karena berdasarkan hadis Basrah binti Shafwan r.a 

عن يسرة بنت صفوان رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من مس  ذكره فلا يصله ، حتى يتوضأ

Nabi saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia mengerjakan salat sehingga ia wudu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi seraya menyatakan kesahihan hadis ini).

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah sesuatu yang sering dianggap membatalkan wudu. 

Di atas telah dibahas sesuatu yang membatalkan wudu, namun ada beberapa hal yang sering kali disangka membatalkan wudu padahal tidak membatalkan wudu antara lain:

a) Keluar darah tidak melalui dua jalan dubur dan kubul, seperti karena luka, mimisan, dan berbekam. Demikian pula muntah, baik sedikit ataupun banyak, tidak membatalkan wudu. Hal ini bukan berarti darah dan muntah boleh dibawa salat. Darah dan muntah termasuk benda najis yang tidak boleh dibawa ketika salat sehingga orang yang berwudu kemudian berdarah atau muntah, tetap harus membersihkan pakaian atau anggota tubuhnya yang terkena darah dan ia tidak perlu mengulangi wudunya.
Oleh karena darah dan muntah harus dibersihkan ketika hendak salat, maka golongan Hanafiyah menganggap keluarnya darah melalui apapun juga, demikian pula muntah, dapat membatalkan wudu.  
b) Memandikan mayat tidak membatalkan wudu. Bagi orang yang memandikan mayit hanya dianjurkan untuk berwudu. Hal ini bukan berarti, membatalkan wudunya karena sesuatu yang membatalkan wudu telah jelas ketentuannya.  
c) Menyentuh isteri tanpa pembatas atau penghalang karena berdasarkan hadis Aisyah r.a 

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلها وهو صائم وقال إن القبلة لا تنقض الوضوء ولا تفطر الصائم

Rasulullah saw. pernah menciumnya, sedangkan pada saat itu beliau berpuasa. Nabi saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ciuman ini tidaklah membatalkan wudu dan tidak pula membatalkan puasa.” (HR. Ishak bin Ruwaih)  

2) Perkara yang wajib dilakukan dengan berwudu

Seseorang diwajibkan berwudu untuk mengerjakan tiga perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Salat apapun juga bentuknya, baik salat fardu maupun salat sunat, termasuk juga bila ingin mengerjakan salat jenazah.
Dengan demikian, tidak sah salat tanpa wudu. Karena itu, ulama menjadikan wudu sebagai syarat sah salat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: "Salat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia berwudu" seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya" hai Abu Hurairah !apa hadas itu? Abu Hurairah menjawab "kentut bersuara atau tidak"(HR. al-Bukhari) 

b) Tawaf di Baitullah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:

عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : الطواف صلاة إلا أن الله أحله فيه الكلام، فمن تكلم  فلا يتكلم إلاه بخيْر)  رواه الترمذى(

Nabi saw. bersabda, Thawaf itu merupakan salat, hanya saja Allah menghalalkan berbicara sewaktu mengerjakannya. Oleh karenanya, barang siapa yang ingin berbicara ketika mengerjakan thawaf, maka hendaklah ia membicarakan hal-hal yang baik-baik.”  

Berdasarkan hadis di atas, thawaf disyaratkan untuk berwudu, karena thawaf pada prinsipnya adalah ibadah seperti halnya salat. Bahkan, thawaf diserupakan seperti salat tahiyatul masjid.  
c) Menyentuh mushaf al-Quran. Ini menurut pendapat jumhur ulama berdasarkan pada firman Allah dalam QS al-Waqiah/56: 79. 

 لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS al-Waqi'ah/56: 79)

Dan juga berdasarkan hadis riwayat Abu Bakar bin Muhammad bin Ammar bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya r.a:

عن ابن حزم عن أبيه عن جده رضي الله عنهم هه  أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب اليَ اهل اليمن كتابَ  و كان فيه : لا يمس القران إلا طاهر

Nabi saw. menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman yang di antara isinya adalah: al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang sudah suci. (HR. Nasai, Daruquthni, Baihaqi, dan Al-Atsram).   


Mandi 

Mandi yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi yang bertujuan menghilangkan hadas besar seperti, keluar mani/sperma, setelah jimak dan keluar darah haid/nifas. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt.:
وان كنتم جنبا فاطهروا

Dan jika kamu junub, maka mandilah. (QS al-Maidah/5: 6).

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid, jawablah bahwa itu adalah kotoran, karena itu jauhi istrimu di waktu haid, dan jangan dekati mereka hingga suci. Maka bila mereka telah suci, boleh kamu mencampuri mereka, sebagaimana diperintah oleh Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suci”. (QS al-Baqarah/2: 222).  

1)  Perkara yang Mewajibkan Mandi 

Mandi menjadi wajib disebabkan adanya lima perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Keluar mani disertai syahwat, baik pada waktu tidur maupun ketika bangun, laki-laki maupun wanita.
Di sini ada beberapa persoalan yang sering terjadi sebagai berikut: 
(1) Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak mewajibkan mandi. 
(2) Jika seorang bermimpi, tetapi tidak menemukan bekas air mani maka ia tidak wajib mandi.   
(3) Bila seorang bangun tidur, lalu menemukan basah tetapi tidak ingat bahwa ia bermimpi, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa itu adalah mani. Karena pada zhahirnya, air mani itu keluar disebabkan mimpi.  
(4) Jika seorang merasakan hendak keluarnya mani pada saat memuncaknya syahwat, tetapi ia menahan kemaluannya hingga ia tidak keluar, maka orang tersebut tidak wajib mandi.  
(5) Jika melihat mani pada kainnya, tetapi tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah salat, maka ia wajib mengulangi salat dari waktu tidurnya yang terakhir, kecuali bila ada keyakinan bahwa keluarnya sebelum itu sehingga ia harus mengulangi dari waktu tidur yang terdekat di mana mani itu mungkin keluar.  

b) Hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita, walau tidak sampai keluar mani, karena berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu junub, maka mandilah....” (QS al-Maidah/5: 6).
Menurut Syafi’i, bahwa hakikat junub adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, walaupun tanpa disertai orgasme. 
c) Haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah swt.:  

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintah Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah/2: 222).  

d) Melahirkan baik anak yang dilahirkan itu cukup umur maupun tidak, seperti keguguran. 
e) Mati, jika seorang menemui ajal kematiannya, maka ia wajib dimandikan berdasarkan ijma’ ulama. 
f) Orang kafir jika sudah masuk Islam. Ia juga wajib mandi sebagai awal dari penyucian dirinya.

2) Fardu (Rukun) Mandi 

Menurut al-Jaziri, bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan fardu/rukun mandi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa fardu mandi ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua, memasukkan air ke hidung dan ketiga, membasuh seluruh badan dengan air. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardu mandi ada lima, yaitu: niat, meratakan badan (zhahir) dengan air, muwalat, menggosok-gosok seluruh badan dengan air, dan menyela-nyela anggota badan seperti rambut.   Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa fardu mandi ada dua, yaitu: niat meratakan seluruh anggota badan dengan air. Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa fardu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
 
3) Sunah-sunah Mandi 

Seseorang yang mandi harus memperhatikan perkara-perkara yang pernah dilakukan Rasulullah saw., pada saat mandi, yaitu sebagai berikut: 
a) Mulai dengan mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.  
b) Kemudian membasuh kemaluan. 
c) Lalu berwudu secara sempurna seperti halnya wudu pada saat ingin mengerjakan salat. Ia juga boleh menangguhkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi, bila ia mandi di tempat tembaga dan sebagainya.  
d) Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyelanyela rambut agar air dapat membasahi urat-uratnya.  
e) Lalu mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan, lalu sebelah kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jarijari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.

4) Pendapat ulama Mazhab terhadap hal yang diharamkan bagi yang berjunub 

Menurut mayoritas ulama seorang yang berhadas besar (junub) diharamkan melakukan salat dan tawaf di sekitar Ka’bah, memegang, dan membawa mushaf alQuran, kecuali dalam keadaan darurat untuk menyelamatkannya atau mengembalikannya ke tempatnya semula setelah terjatuh dan sebagainya. Namun, al-Jaziri mengungkapkan perbedaan para ulama mazhab berkaitan dengan membaca al-Quran dan berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadas besar.  
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub tidak boleh membaca al-Quran kecuali dua syarat. Pertama, membaca suatu yang mudah dan kedua, membaca dalam dua situasi: dengan tujuan menjaga dari musuh dan untuk menunjukkan hukum syarak. Juga tidak dibolehkan masuk masjid, kecuali dua keadaan, yaitu: tidak air untuk mandi, kecuali di masjid tetapi diharuskan bertayamum sebelum masuk masjid dan tidak ada tempat penampungan dari bahaya kecuali di masjid. 
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sedikit atau banyak, kecuali dalam dua keadaan. Pertama, untuk mengawali setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua, membaca ayat-ayat pendek untuk berdoa. Juga diharamkan bagi yang berjunub masuk masjid, kecuali dharurat. Misalnya tidak ada air untuk mandi kecuali di masjid, tetapi diharuskan bertayammum terlebih dahulu. 
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sekalipun satu huruf jika bermakud untuk membaca. Tetapi, jika bermaksud untuk berzikir tidak diharamkan. Juga tidak dibolehkan diam di masjid, kecuali hanya sekedar lewat itupun jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.  
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berjunub dibolehkan membaca al-Qur’an pada ayat-ayat pendek, tidak boleh lebih dari itu. Boleh juga diam di masjid jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.   Pada intinya pendapat para ulama mazhab di atas adalah untuk menjaga kesucian kitab suci dan tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak dibolehkan membaca al-Qur’an dan diam di masjid. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasulullah saw.:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ ثم قرأ شيئا من القرأن ثم قال: هكذا لمن ليس بجنب، فاما الجنب فلا ولا أية)  رواه أحمد وابو يعلى وهذا لفظه قال البيهقى رجاله موثقون(

Saya melihat Rasulullah saw. berwudu kemudian membaca sesuatu dari alQur’an lalu ia bersabda, “Ini adalah bagi orang yang tidak berjunub. Adapun orang yang berjunub, maka tidak boleh, bahkan satu ayat pun.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan beginilah susunan kata-katanya. Menurut Hatami: perawiperawinya dapat dipercaya).  

Dalam sabda yang lain:  

دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم صرحة هذا المسجد فنادى بَاعلى صوته: ان المسجد لا يحل لَحائض ولا لجنب 

Rasulullah saw. masuk ke halaman masjid dan berseru sekeras suaranya, “Sesungguhnya masjid tidak dibolehkan bagi orang haid maupun junub.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani). 

Jika tujuan diharamkan masuk masjid untuk menjaga kebersihan masjid, maka jika dirasa aman tidak akan mengotori masjid dibolehkan berdiam di masjid, karena jaman sekarang sudah banyak alat-alat pengaman seperti softek dan lainnya.
Penulis tidak sependapat dengan pandangan ini, karena orang junub bukan hanya wanita yang haid atau nifas, melainkan lelaki yang keluar mani juga disebut junub yang juga tidak dibolehkan untuk masuk masjid berdasarkan hadis di atas. Jelasnya adalah bagi orang yang junub, baik karena haid maupun keluar mani sama-sama tidak dibolehkan masuk masjid, sekalipun mereka merasa yakin tidak akan mengotori masjid.  

5) Permasalahan mandi wajib 

Ada beberapa hal yang sering dipertanyakan sekitar mandi wajib, antara lain sebagai berikut: 
a) Seorang yang telah melaksanakan mandi wajib tidak perlu lagi berwudu sesudahnya, karena niat menghilangkan hadas besar dianggap sudah meliputi hadas kecil dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudu setelah mandi seperti menyentuh kemaluan. 
b) Cukup mandi satu kali saja, meliputi mandi janabat, mandi hari Jumat, dan mandi hari raya apabila ia meniatkan itu semua ketika memulai mandinya. Berbeda kondisinya, jika mandi junub dilakukan di pagi hari kemudian di siang hari dalam keadaan bau yang akan mengganggu orang di sekitarnya, hendaknya mandi lagi yang ke dua kalinya untuk menunaikan salat Jumat.  
c) Tidak ada larangan atas seorang junub atau wanita yang sedang haid, memotong kuku, menghilangkan bulu atau rambut, keluar rumah dan sebagainya.


No comments:

Post a Comment